Risiko bunuh diri

Risiko bunuh diri merupakan diagnosis keperawatan yang didefinisikan sebagai berisiko melakukan upaya menyakiti diri sendiri untuk mengakhiri kehidupan.

Diagnosis ini diberi kode D.0135, masuk dalam kategori lingkungan, subkategori keamanan dan proteksi dalam Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan risiko bunuh diri secara komprehensif, namun dengan Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari faktor risiko yang harus muncul untuk dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara menulis diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan pada daftar isi berikut:

Faktor Risiko

Faktor risiko adalah kondisi atau situasi yang dapat meningkatkan kerentanan pasien mengalami masalah Kesehatan.

Faktor risiko inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi bagian “dibuktikan dengan ….” pada struktur diagnosis keperawatan risiko.

Faktor risiko untuk masalah risiko bunuh diri adalah:

  1. Gangguan perilaku (mis: euphoria mendadak setelah depresi, perilaku mencari senjata berbahaya, membeli obat dalam jumlah banyak, membuat surat warisan)
  2. Demografi (mis: lansia, status perceraian, janda/duda, ekonomi rendah, pengangguran)
  3. Gangguan fisik (mis: nyeri kronis, penyakit terminal)
  4. Masalah sosial (mis: berduka, tidak berdaya, putus asa, kesepian, kehilangan hubungan yang penting, isolasi sosial)
  5. Gangguan psikologis (mis: penganiayaan masa kanak-kanak, riwayat bunuh diri sebelumnya, remaja homoseksual, gangguan psikiatrik, penyakit psikiatrik, penyalahgunaan zat)

Penulisan Diagnosis

Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan risiko, yang berarti penulisannya menggunakan metode dua bagian, yaitu:

[masalah] + [faktor risiko]

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Risiko bunuh diri dibuktikan dengan gangguan psikiatrik

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat menjadi:

Risiko bunuh diri d.d gangguan psikiatrik

Perhatikan:

  1. Masalah = Risiko bunuh diri
  2. Faktor risiko = gangguan psikiatrik
  3. d.d = dibuktikan dengan
  4. Diagnosis risiko tidak menggunakan berhubungan dengan (b.d) karena tidak memiliki etiologi.

Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)

Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran utama untuk diagnosis risiko bunuh diri adalah “kontrol diri meningkat”.

Kontrol diri meningkat diberi kode L.09076 dalam SLKI.

Kontrol diri meningkat berarti meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan atau mengatur emosi, pikiran, dan perilaku dalam menghadapi masalah.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa kontrol diri meningkat adalah:

  1. Verbalisasi keinginan bunuh diri menurun
  2. Verbalisasi isyarat bunuh diri menurun
  3. Verbalisasi ancaman bunuh diri menurun
  4. Verbalisasi rencana bunuh diri menurun

Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka kontrol diri meningkat, dengan kriteria hasil:

  1. Verbalisasi keinginan bunuh diri menurun
  2. Verbalisasi isyarat bunuh diri menurun
  3. Verbalisasi ancaman bunuh diri menurun
  4. Verbalisasi rencana bunuh diri menurun

Perhatikan:

  1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka kontrol diri
  2. Ekspektasi = Meningkat
  3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,

Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan sesuai SLKI.”

Intervensi

Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi, maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), intervensi utama untuk diagnosis risiko bunuh diri adalah:

  1. Manajemen mood
  2. Pencegahan bunuh diri

Manajemen Mood (I.09289)

Intervensi manajemen mood dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.09289).

Manajemen mood adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk mengidentifikasi dan mengelola keselamatan, stabilisasi, pemulihan, dan perawatan gangguan mood (keadaan emosional yang bersifat sementara)

Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen mood berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

  • Identifikasi mood (mis: tanda, gejala, Riwayat penyakit)
  • Identifikasi risiko keselamatan diri atau orang lain
  • Monitor fungsi kognitif (mis: konsentrasi, memori, kemampuan membuat keputusan)
  • Monitor aktivitas dan tingkat stimulasi lingkungan

Terapeutik

  • Fasilitasi pengisian kuesioner self-report (mis: beck depression inventory, skala status fungsional), jika perlu
  • Berikan kesempatan untuk menyampaikan perasaan dengan cara yang tepat (mis: sandsack, terapi seni, aktivitas fisik)

Edukasi

  • Jelaskan tentang gangguan mood dan penanganannya
  • Anjurkan berperan aktif dalam pengobatan dan rehabilitasi, jika perlu
  • Anjurkan rawat inap sesuai indikasi (mis: risiko keselamatan, deficit perawatan diri, sosial)
  • Ajarkan mengenali pemicu gangguan mood (mis: situasi stres, masalah fisik)
  • Ajarkan memonitor mood secara mandiri (mis: skala tingkat 1 – 10, membuat jurnal)
  • Ajarkan keterampilan koping dan penyelesaian masalah baru

Kolaborasi

  • Kolaborasi pemberian obat, jika perlu
  • Rujuk untuk psikoterapi (mis: perilaku, hubungan interpersonal, keluarga, kelompok), jika perlu

Pencegahan Bunuh Diri (I.14538)

Intervensi pencegahan bunuh diri dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.14538).

Pencegahan bunuh diri adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk mengidentifikasi dan menurunkan risiko pasien merugikan diri sendiri dengan maksud mengakhiri hidup.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi pencegahan bunuh diri berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

  • Identifikasi gejala risiko bunuh diri (mis: gangguan mood, halusinasi, delusi, panik, penyalahgunaan zat, kesedihan, gangguan kepribadian)
  • Identifikasi keinginan dan pikiran rencana bunuh diri
  • Monitor lingkungan bebas bahaya secara rutin (mis: barang pribadi, pisau cukur, jendela)
  • Monitor adanya perubahan mood atau perilaku

Terapeutik

  • Libatkan dalam perencanaan perawatan mandiri
  • Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
  • Lakukan pendekatan langsung dan tidak menghakimi saat membahas bunuh diri
  • Berikan lingkungan dengan pengamanan ketat dan mudah dipantau (mis: tempat tidur dekat ruang perawat)
  • Tingkatkan pengawasan pada kondisi tertentu (mis: rapat staf, pergantian shift)
  • Lakukan intervensi perlindungan (mis: pembatasan area, pengekangan fisik), jika diperlukan
  • Hindari diskusi berulang tentang bunuh diri sebelumnya, diskusi berorientasi pada masa sekarang dan masa depan
  • Diskusikan rencana menghadapi ide bunuh diri di masa depan (mis: orang yang dihubungi, ke mana mencari bantuan)
  • Pastikan obat ditelan

Edukasi

  • Anjurkan mendiskusikan perasaan yang dialami kepada orang lain
  • Anjurkan menggunakan sumber pendukung (mis: layanan spiritual, penyedia layanan)
  • Jelaskan tindakan pencegahan bunuh diri kepada keluarga atau orang terdekat
  • Informasikan sumber daya masyarakat dan program yang tersedia
  • Latih pencegahan risiko bunuh diri (mis: latihan asertif, relaksasi otot progresif)

Kolaborasi

  • Kolaborasi pemberian obat antiansietas, atau antipsikotik, sesuai indikasi
  • Kolaborasi tindakan keselamatan kepada PPA
  • Rujuk ke pelayanan kesehatan mental, jika perlu

Diagnosis Terkait

Daftar diagnosis lainnya yang masuk dalam kategori lingkungan, subkategori keamanan dan proteksi adalah:

  1. Gangguan integritas kulit/jaringan
  2. Hipertermia
  3. Hipotermia
  4. Perilaku kekerasan
  5. Perlambatan pemulihan pascabedah
  6. Risiko alergi
  7. Risiko cedera
  8. Risiko cedera pada ibu
  9. Risiko cedera pada janin
  10. Risiko gangguan integritas kulit/jaringan
  11. Risiko hipotermia
  12. Risiko hipotermia perioperatif
  13. Risiko infeksi
  14. Risiko jatuh
  15. Risiko luka tekan
  16. Risiko mutilasi diri
  17. Risiko perilaku kekerasan
  18. Risiko perlambatan pemulihan pascabedah
  19. Risiko termoregulasi tidak efektif
  20. Termoregulasi tidak efektif

Referensi

  1. PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI.
  2. PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.
  3. PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.

Leave a Reply