SOP Transfusi Darah

Transfusi darah dalam SOP PPNI (2021) diistilahkan dengan “Pemberian Produk Darah”.

Transfusi atau pemberian produk darah adalah tindakan yang dilakukan oleh Perawat untuk mempersiapkan dan memberikan produk darah dengan menggunakan set transfusi.

Transfusi produk darah adalah salah satu prosedur klinis yang paling umum dilakukan di fasyankes saat ini, dan umumnya berhubungan dengan kehilangan darah dalam jumlah besar yang disebabkan oleh trauma, operasi, syok dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah

Bahkan WHO giat mempromosikan upaya untuk meningkatkan akses ke transfusi darah yang aman di seluruh dunia (Harris & Crookston, 2022).

Oleh karena itu, sangat penting bagi perawat untuk memahami SOP transfusi darah.

Dalam artikel ini kita akan membahas SOP transfusi darah. Namun sebelumnya, perawat harus mengetahui terlebih dahulu tentang produk-produk darah, indikasi, serta komplikasi transfusi darah.

Daftar isi

Jenis-Jenis Produk Darah untuk Transfusi

Menurut Artha & Budiarta (2017), jenis-jenis produk darah untuk tranfusi antara lain:

  1. WB (Whole Blood)
  2. PRC (Packed Red Cell)
  3. PC (Platelet Consentrate)
  4. FFP (Fresh Frozen Plasma)
  5. Cryoprecipitate

WB (Whole Blood)

Whole Blood (WB) atau Darah Lengkap mengandung komponen eritrosit, leukosit, dan plasma.

Satu kantong WB terdiri dari 250 ml darah dan 37 ml antikoagulan.

Whole blood diberikan pada pasien yang mengalami perdarahan akut.

Pada orang dewasa, WB diberikan bila kehilangan darah lebih dari 15-20 % volume darahnya, sedangkan pada bayi diberikan bila kehilangan darah lebih dari 10% volume darahnya (Artha & Budiarta, 2017).

Kontraindikasi WB adalah pasien anemia kronis normovolemik atau pada pasien yang hanya membutuhkan sel darah merah saja (Mangku & Senapathi, 2010).

PRC (Packed Red Cell)

Transfusi sel darah merah diberikan pada pasien untuk memperbaiki suplai oksigen ke jaringan.

Transfusi tersebut digunakan untuk pasien simtomatik atau mereka yang membutuhkan peningkatan Hb yang cepat (Fleming, 2014).

Volume PRC dalam 1 unit sekitar 150 – 200 ml.

Hasil yang diharapkan dari pemberian 1 unit akan meningkatkan hemoglobin sekitar 1 g/dl dan hematokrit 3% (Sirait, 2019).

Indikasi pemberian PRC (Sirait, 2019), adalah:

  1. Perdarahan akut >15% dari volume darah pada pasien hipovolemia yang tidak respon pada pemberian kritaloid atau koloid.
  2. Anemia kronik dengan simptomatik (Mudah lelah, lemah, nafas dangkal/cepat, pusing, aritmia), kadar hemoglobin <8 g/dl pada pasien anemia asimptomatik
  3. Penyakit Sickle Cell

Kontraindikasi pemberian PRC adalah pasien anemia akut dan kronis yang stabil.

Kondisi ini meliputi anemia autoimun, anemia megaloblastik, defisiensi besi, dan anemia pada pasien dengan gagal ginjal, yang kesemuanya dapat dikoreksi dengan penanganan non-darah (Seeber & Shander, 2013).

PC (Platelet Consentrate)

Transfusi trombosit diberikan pada pasien dengan trombositopenia atau trombosit disfungsional bila terjadi perdarahan.

Profilaksis transfuse trombosit juga ditunjukkan pada pasien dengan jumlah trombosit di bawah 10.000 – 20.000 × 109/L karena peningkatan risiko perdarahan spontan.

Jumlah trombosit kurang dari 50.000 × 109/L dikaitkan dengan peningkatan kehilangan darah selama operasi.

Pemberian satu unit trombosit diharapkan meningkatkan jumlah trombosit sebesar 5000 – 10.000 × 109/L, dan dengan pemberian unit aperesis platelet, sebesar 30.000 – 60.000 × 109/L.

Trombosit transfusi biasanya bertahan hanya 1-7 hari setelah transfusi (Morgan & Mikhail, 2013).

FFP (Fresh Frozen Plasma)

FFP (Fresh frozen plasma) atau plasma segar beku mengandung semua protein plasma, termasuk faktor pembekuan terbanyak.

Transfusi FFP ditunjukkan dalam pengobatan defisiensi faktor terisolasi, pembalikan terapi warfarin, dan koreksi koagulopati yang dikaitkan dengan penyakit hati.

Setiap unit FFP biasanya meningkatkan faktor pembekuan sebesar 2-3% pada orang dewasa.

Dosis terapeutik awal biasanya 10-15 mL/kg.

Tujuannya adalah untuk mencapai 30% konsentrasi faktor koagulasi normal.

FFP juga dapat digunakan pada pasien yang telah menerima transfusi darah masif dan terus mengalami transfusi trombosit.

FFP umumnya harus dipanaskan sampai suhu 37 °C sebelum transfusi (Morgan & Mikhail, 2013).

Cryoprecipitate

Cryoprecipitate atau transfusi Faktor Anti Hemofilik memiliki komponen utama yaitu faktor VIII, faktor pembekuan XIII, dan fibrinogen.

Penggunaannya untuk menghentikan perdarahan karena kurangnya faktor VIII di dalam darah penderita hemofili A.

Cara pemberian ialah dengan menyuntikkan intravena langsung, tidak melalui tetesan infus, pemberian segera setelah komponen mencair, sebab komponen ini tidak tahan pada suhu kamar.

Suhu simpan -18°C atau lebih rendah dengan lama simpan 1 tahun, ditransfusikan dalam waktu 6 jam setelah dicairkan.

Efek samping berupa demam, alergi.

Satu kantong (30 ml) mengadung 75-80 unit faktor VIII, 150-200 mg fibrinogen, faktor von wilebrand, faktor XIII.

Setiap unit akan menaikkan tingkat fibrinogen 5 sampai 10 mg per dL (0,15 sampai 0,29 μmol/L), dengan tujuan mempertahankan tingkat fibrinogen paling sedikit 100 mg/dL (2,94 μmol/L)

Indikasi pemberian(Fleming, 2014):

  • Hemophilia A
  • Perdarahan pasca bedah
  • Penyakit von wilebrand
  • Defisiensi antikoagulan faktor VIII
  • Defisiensi fibrinogen kongenital
  • Defisiensi antikoagulan faktor XIII.

Indikasi Transfusi Darah

Transfusi darah dan komponennya (sel darah merah, trombosit, FFP, cryoprecipitate) umumnya diberikan saat operasi untuk meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular.

Indikasi transfusi darah menurut Gaol, Tanto, & Pryambodho (2014), antara lain:

  • Perdarahan akut hingga hemoglobin < 8 g/dL atau hematokrit <30 %
  • pada bedah mayor yang kehilangan darah > 20 % volume total
  • pasien anemia akut dengan hematokrit <21 %
  • pasien anemia kronis yang tidak dapat menoleransi kadar hemoglobin <7 g/dL.

American Society of Anesthesiologists dalam Artha & Budiarta (2017), menyatakan bahwa indikasi transfusi darah adalah sebagai berikut :

  • Hb <6 g/dL dan hampir tidak pernah diindikasikan Hb >10 g/dL.
  • Untuk nilai Hb Antara 6-10 g/dL, indikasi bergantung pada risiko komplikasi.
  • Pemberian transfusi mempertimbangkan fisiologi tubuh.
  • Jika memungkinkan, sebaiknya dilakukan transfusi darah autolog.
  • Indikasi transfusi sel darah merah autolog lebih banyak karena risiko lebih rendah.

Risiko Komplikasi Transfusi Darah

Komplikasi transfusi darah dapat dikategorikan menjadi komplikasi akut dan lanjut.

Komplikasi akut dapat terjadi dalam hitungan menit sampai 24 jam, sedangkan komplikasi tertunda dapat terjadi dalam hitungan hari, bulanan, hingga beberapa tahun setelahnya.

Komplikasi tersebut dapat dikategorikan lagi secara terperinci menjadi komplikasi infeksius dan non-infeksius.

Beberapa contoh komplikasi transfusi yang terjadi antara lain:

  • Reaksi hemolitik akut
  • Reaksi alergi
  • TRALI (Transfusion-related acute lung injury)
  • FNHTR (Febrile nonhemolytic transfusion reactions)
  • Transfusion-associated graft-versus-host disease

Reaksi hemolitik akut

Reaksi hemolitik akut sangat jarang terjadi yang timbul karena transfusi yang tidak cocok. Komplikasi ini disebabkan oleh adanya proses penghancuran sel darah merah oleh sel imun resipien dalam kurun waktu 24 jam setelah transfusi diberikan.

Gejala reaksi hemolitik akut yang dapat timbul antara lain demam, mual muntah, kaku, hipotensi, dyspnea, anemia, dan disseminaterd intravascular coagulation.

Bila terjadi reaksi hemolitik segera hentikan transfusi dan berikan oksigen yang adekuat (Sharma, Sharma & Tyler, 2011).

Reaksi alergi

Reaksi alergi umum terjadi dan gejalanya ringan. Kebanyakan disebabkan oleh adanya protein asing pada darah donor dan dimediasi oleh IgE.

Gejala yang dapat timbul diantaranya pruritus, urtikaria, dengan atau tanpa diserta demam.

Bila reaksi alergi terjadi segera hentikan transfusi dan kolaborasi pemberian antihistamin atau steroid dengan tenaga medis (Mangku & Senapathi, 2010).

TRALI (Transfusion-related acute lung injury)

TRALI (Transfusion-related acute lung injury) merupakan reaksi yang disebabkan oleh interaksi antara antibodi darah donor dengan neutrophil, monosit, atau sel endotel paru resipien.

Tanda dan gejala yang timbul seperti demam, dyspnea, hipoksia berat yang muncul pada 1-2 jam pertama sampai 6 jam setelah transfusi.

Bila terjadi TRALI segera hentikan pemberian transfusi dan kolaborasi tenaga medis untuk terapi suportif (Artha & Budiarta, 2017).

TNHTR (Febrile nonhemolytic transfusion reactions)

FNHTR (Febrile nonhemolytic transfusion reactions) didefinisikan sebagai peningkatan suhu 1°C diatas 37°C dalam waktu 24 jam paska transfusi, dapat disertai dengan kekakuan, kedinginan, dan perasaan tidak nyaman pada pasien.

Gejalanya muncul beberapa jam setelah transfusi.

FNHTR sangat umum terjadi dan tidak mengancam nyawa.

Transfusion-associated graft-versus-host disease

Transfusion-associated graft-versus-host disease merupakan komplikasi lanjutan dari transfusi darah.

Transfusion-associated graft-versus-host disease adalah peristiwa dimana sel limfosit donor mengalami proliferasi di dalam tubuh resipien yang kemudian merusak jaringan dan organ resipien.

Kejadiannya cenderung dialami oleh pasien dengan defisiensi imun.

Gejala yang muncul dapat meliputi kemerahan pada kulit, demam, diare, disfungsi hepar, dan pansitopenia yang terjadi 1-6 jam setelah transfusi.

Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan yang terkait dengan SOP transfusi darah menurut buku SPO Keperawatan (PPNI, 2021), antara lain:

  1. Hipovolemia
  2. Risiko hipovolemia
  3. Perfusi perifer tidak efektif
  4. Risiko perfusi perifer tidak efektif
  5. Risiko syok
  6. Risiko alergi

Persiapan alat

Alat-alat yang dibutuhkan untuk melaksanakan SOP transfusi darah antara lain:

  1. Produk darah, sesuai kebutuhan
  2. Sarung tangan bersih
  3. Set transfusi (blood set)
  4. Cairan NaCl 0,9%
  5. Kateter IV
  6. Spuit 3cc
  7. Alcohol swab
  8. Pengalas
  9. Bengkok
  10. Plester
  11. Gunting

SOP Transfusi Darah

SOP transfusi darah sesuai SPO PPNI:

  1. Identifikasi pasien menggunakan minimal dua identitas (nama lengkap, tanggal lahir, dan/atau nomor rekam medis)
  2. Jelaskan tujuan dan Langkah-langkah prosedur
  3. Siapkan alat (lihat persiapan alat diatas)
  4. Lakukan kebersihan tangan 6 langkah
  5. Pasang sarung tangan bersih
  6. Lakukan pengecekan ganda (double check) pada label darah (golongan darah, rhesus, tanggal kadaluarsa, nomor seri, jumlah dan identitas pasien)
  7. Pasang akses intravena, jika belum terpasang
  8. Periksa kepatenan akses intravena, flebitis, dan tanda infeksi lokal
  9. Berikan NaCl 0,9% 50 – 100 ml sebelum transfusi dilakukan
  10. Sambungkan kantung darah dengan set transfusi
  11. Atur kecepatan transfusi 2 mL/menit pada 15 menit pertama, dan jika tidak terjadi respons alergi maka transfusi dapat dipercepat sesuai target dan kondisi pasien
  12. Berikan transfusi dalam waktu maksimal 4 jam (untuk WB, PRC, PRC-LD, WE), 2 jam (untuk TC), atau 6 jam (untuk FFP dan cryoprecipitate)
  13. Bilas selang dengan mengalirkan cairan NaCl 50 – 100 ml
  14. Monitor TTV dan adanya tanda/gejala respons alergi (saat transfusi dimulai, 15 menit setelah transfusi dimulai, saat transfusi selesai, 4 jam setelah transfusi selesai)
  15. Hentikan transfusi jika terdapat reaksi transfusi
  16. Rapikan pasien dan alat-alat yang digunakan
  17. Lepaskan sarung tangan
  18. Lakukan kebersihan tangan 6 langkah
  19. Dokumentasikan prosedur yang telah dilakukan dan respon pasien

Referensi

  1. Aini, F.N., Utami, M.N., & Lestari, B.S. (2020). Komponen Darah. Jakarta: Cipta Gadhing Artha.
  2. Artha, I.G.P.W., & Budiarta, I.G. (2017). Transfusi darah pasca bedah. Denpasar: RSUP Sanglah.
  3. Fleming, R. (2014). Strategies to reduce allogenic blood transfusion. Journal of Transfusion Medicine 2014;7(1):20-25.
  4. Gaol, H.L., Tanto, C., & Pryambodho. (2014). Kapita Selekta Kedokteran: Transfusi Darah. Jakarta: Media Aesculapius.
  5. Harris, JC., Crookston, KP. (2022). Blood Product Safety. [Updated 2022 May 1]. In: StatPearls [Internet]. Diakses pada 19 Desember 2022 di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539826/
  6. Mangku, G., & Senapathi, T.G.A. (2010). Buku ajar ilmu anesteria dan reanimasi. Jakarta: Indeks.
  7. Morgan, G.E., & Mikhail, M.S. (2013). Clinical Anesthesiology. 5th Edition. United States: Lange.
  8. PPNI (2021). Pedoman Standar Operasional Prosedur Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: PPNIv.
  9. PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI.
  10. Seeber, P., & Shander, A. (2013). Basics Of Blood Management, 2nd Edition. United Kingdom: Wiley Blackwell.
  11. Sharma, S., Sharma, P., Tyler, L,N. (2011). Transfusion of Blood and Blood Products: Indications and Complications. Am Fam Physician, 83(6): 719 – 724.
  12. Sirait, R.H. (2019). Bahan kuliah transfusi darah. Jakarta: Departemen Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.

Leave a Reply