Risiko hipotermia perioperatif merupakan diagnosis keperawatan yang didefinisikan sebagai berisiko mengalami penurunan suhu tubuh di bawah 36°C secara tiba-tiba yang terjadi satu jam sebelum pembedahan hingga 24 jam setelah pembedahan.
Diagnosis ini diberi kode D.0141, masuk dalam kategori lingkungan, subkategori keamanan dan proteksi dalam Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI).
Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan risiko hipotermia perioperatif secara komprehensif, namun dengan Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.
Kita akan mempelajari faktor risiko yang harus muncul untuk dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara menulis diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi utamanya.
Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan pada daftar isi berikut:
Faktor Risiko
Faktor risiko adalah kondisi atau situasi yang dapat meningkatkan kerentanan pasien mengalami masalah Kesehatan.
Faktor risiko inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi bagian “dibuktikan dengan ….” pada struktur diagnosis keperawatan risiko.
Faktor risiko untuk masalah risiko hipotermia perioperatif adalah:
- Prosedur pembedahan
- Kombinasi anestesi regional dan umum
- Skor American Society of Anestesiologist (ASA) > 1
- Suhu pra-operasi rendah (< 36°C)
- Berat badan naik
- Neuropati diabetik
- Komplikasi kardiovaskuler
- Suhu lingkungan rendah
- Transfer panas (mis: volume tinggi infus yang tidak dihangatkan, irigasi > 2 liter yang tidak dihangatkan)
Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan risiko, yang berarti penulisannya menggunakan metode dua bagian, yaitu:
[masalah] + [faktor risiko]
Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:
Risiko hipotermia perioperatif dibuktikan dengan komplikasi kardiovaskuler
Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat menjadi:
Risiko hipotermia perioperatif d.d komplikasi kardiovaskuler
Perhatikan:
- Masalah = Risiko hipotermia perioperatif
- Faktor risiko = komplikasi kardiovaskuler
- d.d = dibuktikan dengan
- Diagnosis risiko tidak menggunakan berhubungan dengan (b.d) karena tidak memiliki etiologi.
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan sesuai SDKI.”
Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran utama untuk diagnosis risiko hipotermia adalah: “termoregulasi membaik.”
Termoregulasi membaik diberi kode L.14134 dalam SLKI.
Termoregulasi membaik berarti membaiknya pengaturan suhu tubuh agar tetap berada pada rentang normal.
Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa termoregulasi membaik adalah:
- Menggigil menurun
- Suhu tubuh membaik
- Suhu kulit membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:
[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].
Contoh:
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, maka termoregulasi membaik, dengan kriteria hasil:
- Menggigil menurun
- Suhu tubuh membaik
- Suhu kulit membaik
Perhatikan:
- Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka termoregulasi
- Ekspektasi = Membaik
- Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan sesuai SLKI.”
Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat mengatasi penyebab.
Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi, maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih dapat mengatasi tanda/gejala.
Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi dapat mengukur luaran keperawatan.
Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi keperawatan sesuai SIKI”.
Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), intervensi utama untuk diagnosis risiko hipotermia perioperatif adalah:
- Manajemen hipotermia
- Pemantauan hemodinamik invasif
Manajemen Hipotermia (I.14507)
Intervensi manajemen hipotermia dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.14507).
Manajemen hipotermia adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk mengidentifikasi dan mengelola suhu tubuh dibawah rentang normal.
Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen hipotermia berdasarkan SIKI, antara lain:
Observasi
- Monitor suhu tubuh
- Identifikasi penyebab hipotermia (mis: terpapar suhu lingkungan rendah, pakaian tipis, kerusakan hipotalamus, penurunan laju metabolisme, kekurangan lemak subkutan)
- Monitor tanda dan gejala akibat hipotermia (mis: hipotermia ringan: takipnea, disartria, menggigil, hipertensi, diuresis; hipotermia sedang: aritmia, hipotensi, apatis, koagulopati, refleks menurun; hipotermia berat: oliguria, refleks menghilang, edema paru, asam-basa abnormal)
Terapeutik
- Sediakan lingkungan yang hangat (mis: atur suhu ruangan, inkubator)
- Ganti pakaian dan/atau linen yang basah
- Lakukan penghangatan pasif (mis: selimut, menutup kepala, pakaian tebal)
- Lakukan penghangatan aktif eksternal (mis: kompres hangat, botol hangat, selimut hangat, perawatan metode kangguru)
- Lakukan penghangatan aktif internal (mis: infus cairan hangat, oksigen hangat, lavase peritoneal dengan cairan hangat)
Edukasi
- Anjurkan makan/minum hangat
Pemantauan hemodinamik invasif (I.02058)
Intervensi pemantauan hemodinamik invasifdalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02058).
Pemantauan hemodinamik invasif adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk mengumpulkan dan menganalisis data parameter tekanan, aliran, dan oksigenasi darah melalui perangkat yang diinsersikan melalui kateter arteri, arteri pulmonal, atau vena sentral untuk menilai fungsi dan respon kardiovaskuler.
Tindakan yang dilakukan pada intervensi pemantauan hemodinamik invasifberdasarkan SIKI, antara lain:
Observasi
- Monitor frekuensi dan irama jantung
- Monitor TDS, TDD, MAP, tekanan vena sentral, tekanan arteri pulmonal, tekanan baji arteri paru
- Monitor curah jantung dan indeks jantung
- Monitor bentuk gelombang hemodinamik
- Monitor perfusi perifer distal pada sisi inserti setiap 4 jam
- Monitor tanda-tanda infeksi dan perdarahan pada sisi insersi
- Monitor tanda-tanda komplikasi akibat pemasangan selang (mis: pneumothoraks, selang tertekuk, embolisme udara)
Terapeutik
- Damping pasien saat pemasangan dan pelepasan kateter jalur hemodinamik
- Lakukan tes allen untuk menilai kolateral ulnaris sebelum kanulasi pada arteri radialis
- Pastikan set selang terangkai dan terpasang dengan tepat
- Konfirmasi ketepatan posisi selang dengan pemeriksaan x-ray, jika perlu
- Posisikan transduser pada atrium kanan (aksis flebostatik) setiap 4 – 12 jam untuk mengkalibrasi dan mentitiknolkan perangkat
- Pastikan balon deflasi dan Kembali ke posisi normal setelah pengukuran tekanan baji arteri paru (PAWP)
- Ganti selang dan cairan infus setiap 24 – 72 jam, sesuai protocol
- Ganti balutan pada area insersi dengan Teknik steril
- Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
- Anjurkan membatasi gerak/aktivitas selama kateter terpasang
Diagnosis Terkait
Daftar diagnosis lainnya yang masuk dalam kategori lingkungan, subkategori keamanan dan proteksi adalah:
- Gangguan integritas kulit/jaringan
- Hipertermia
- Hipotermia
- Perilaku kekerasan
- Perlambatan pemulihan pascabedah
- Risiko alergi
- Risiko bunuh diri
- Risiko cedera
- Risiko cedera pada ibu
- Risiko cedera pada janin
- Risiko gangguan integritas kulit/jaringan
- Risiko hipotermia
- Risiko infeksi
- Risiko jatuh
- Risiko luka tekan
- Risiko mutilasi diri
- Risiko perilaku kekerasan
- Risiko perlambatan pemulihan pascabedah
- Risiko termoregulasi tidak efektif
- Termoregulasi tidak efektif
Referensi
- PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI.
- PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.
- PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.