perawat.org | Askep Asma (SDKI, SLKI, SIKI).
Asma adalah kondisi medis umum yang memengaruhi sekitar 15% hingga 20% individu di negara-negara maju dan sekitar 2% hingga 4% di daerah yang kurang berkembang.
Kondisi ini khususnya sering terjadi pada anak-anak, dengan hingga 40% mengalami sesak napas pada suatu waktu (Hashmi et al, 2023).
Daftar Isi:
- Definisi
- Faktor Risiko
- Patofisiologi
- Tanda dan Gejala
- Pemeriksanaan Penunjang
- Penatalaksanaan Medis
- Pengkajian Keperawatan
- Diagnosis Keperawatan
- Discharge Planning
- Referensi
Definisi
Asma adalah suatu gangguan pada sistem pernapasan, yang ditandai dengan obstruksi pernapasan secara berselang-seling, inflamasi pada saluran pernapasan, dan hipersensitivitas pada bronkus (Dandan, Parhusip, & Frethernety, 2022).
Menurut Kemenkes (2008), asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berupang berupa mengi, batuk, sesak napas, dan rasa berat di dada terutama pada malam hari atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.
Faktor Risiko
Berdasarkan penelitian, teridentifikasi beberapa faktor pemicu asma pada pasien asma.
Faktor-faktor ini meliputi paparan alergen, aktivitas fisik, asap rokok, kondisi cuaca, polusi udara, infeksi saluran pernapasan, dan faktor psikologi (Dandan, Parhusip, & Frethernety, 2022).
Alergen
Alergen yang dapat memicu serangan asma berasal dari sumber-sumber seperti debu, makanan, dan hewan peliharaan.
Debu memiliki potensi menjadi tempat hidup bagi alergen yang dapat memicu serangan asma, seperti tungau debu, kecoa, dan bulu binatang peliharaan. K
Ketika debu masuk ke saluran pernapasan, hal ini dapat merangsang reaksi hipersensitivitas, yang kemudian menyebabkan gejala serangan asma.
Alergen yang berasal dari makanan juga dapat menjadi pemicu serangan asma.
Ketika alergen dari makanan masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan, ini dapat memicu reaksi alergi.
Studi menunjukkan bahwa jenis makanan tertentu, seperti seafood dan bahan tambahan makanan, memiliki kaitan dengan serangan asma, dengan seafood memiliki risiko yang lebih tinggi.
Aktivitas fisik
Ketika manusia berpartisipasi dalam aktivitas fisik, pernapasan menjadi lebih cepat dan dalam karena peningkatan kebutuhan akan oksigen dalam tubuh.
Inhalasi melalui mulut dapat menghasilkan udara yang lebih kering dan dingin, yang pada gilirannya dapat menyebabkan bronkokonstriksi.
Terkait intensitas aktivitas, pasien asma cenderung mengalami serangan asma saat melakukan aktivitas fisik yang berat, khususnya lari yang merupakan aktivitas fisik yang paling cepat menimbulkan gejala asma, diikuti oleh bersepeda.
Sementara itu, berenang dan jalan kaki memiliki risiko yang lebih rendah untuk memicu gejala asma.
Serangan asma yang dipicu oleh aktivitas fisik sering disebut dengan exercised-induced bronchoconstriction.
Asap rokok
Asap rokok memiliki sifat yang bersifat iritan terhadap saluran pernapasan dan dapat menimbulkan efek seperti bronkokonstriksi, pembengkakan pada saluran pernapasan, dan peningkatan responsivitas saluran napas, yang dapat menjadi pemicu serangan asma.
Proses pembakaran tembakau menghasilkan berbagai campuran gas kompleks yang mencakup lebih dari 4500 jenis kontaminan, termasuk hidrokarbon polisiklik, karbon dioksida, karbon monoksida, nikotin, nitrit oksida, hingga akrolein.
Paparan asap rokok dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas, yang pada gilirannya dapat menginduksi gejala asma.
Penelitian menunjukkan bahwa penderita asma sangat rentan dan peka terhadap asap, termasuk asap rokok, asap rumah tangga, asap di lingkungan sekitar, dan asap kendaraan.
Kondisi cuaca
Perubahan dalam tekanan atmosfer dan suhu memiliki dampak negatif pada individu yang menderita asma, yang dapat mengakibatkan serangan sesak napas dan produksi lendir yang berlebihan.
Kondisi cuaca tertentu, seperti suhu udara yang rendah dan tingkat kelembaban yang tinggi, dapat memicu kambuhan asma.
Suhu udara yang bertentangan, seperti udara yang dingin dan tingkat kelembaban yang tinggi, dapat menyebabkan asma menjadi lebih parah.
Kejadian epidemik yang terkait dengan cuaca buruk, terutama selama badai, dapat memperburuk asma, terutama karena peningkatan konsentrasi partikel alergenik.
Partikel ini dapat terbawa oleh air dan udara, termasuk serbuk bunga yang dapat memicu gejala asma.
Polusi udara
Polusi udara memiliki potensi untuk memperburuk gejala asma. Polusi udara merupakan faktor pencetus asma pada pasien yang sudah menderita asma.
Polusi udara di suatu wilayah dapat terkait dengan peningkatan kadar polutan atau alergen spesifik, yang dapat membuat penderita asma menjadi lebih sensitif terhadap kondisi lingkungan tersebut.
Gejala asma dapat mulai muncul ketika Indeks Standar Pencemar Udara (PSI) mencapai angka 50-100.
Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan dapat menjadi pemicu asma, dengan cara menginduksi inflamasi, yang pada gilirannya membuat sistem pernapasan menjadi hiperresponsif.
Jenis infeksi saluran pernapasan yang memiliki risiko paling besar untuk menyebabkan serangan asma adalah batuk.
Infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh Human Rhinovirus A Minor (HRV-A minor) juga memiliki hubungan yang signifikan dengan munculnya gejala asma.
Faktor psikologi
Stres emosional memainkan peran dalam regulasi sistem hipotalamus-pituitari-adrenal, yang dapat menurunkan tingkat kortisol dan mempengaruhi perkembangan alergi, sehingga dapat menjadi pencetus serangan asma pada individu yang sudah menderita asma.
Patofisiologi
Berikut adalah patofisiologi Asma menurut Pedoman Pengendalian Penyakit Asma Kemenkes (2008):
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperakvititas bronkus (Kemenkes, 2008).
Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus ini dapat diukur secara tidak langsung.
Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang pasien.
Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction = LAR).
Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronik.
Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal yang kompleks.
Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran basal.
Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast.
Selain sel mast, sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit.
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrotag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit.
Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens.
Tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma.
Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas bronkus.
Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.
Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:
- Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan dengan pemic (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.
- Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hiperreaktivitas bronkus.
- Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi)
Faktor-faktor pemicu antara lain:
- Alergen dalam ruangan: tungau debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi serta pajanan asap rokok;
- Pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian b2 agonis;
- Pencetus: Semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin.
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:
Tanda dan Gejala
Penyakit asma ialah gangguan inflamasi kronik pada jalan napas.
Inflamasi kronik dapat menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang ditandai dengan (Manese, Bidjuni, & Romas, 2021):
- Wheezing (mengi)
- Sulit bernapas
- Dada sesak
- Batuk
Pemeriksanaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma (Kemenkes, 2008):
- Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer
- Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
- Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
- Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidanya hipereaktivitas bronkus.
- Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi.
- Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit selain asma.
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada pasien dengan asma (Hashmi et al, 2023), adalah:
Tindakan Konservatif
Tindakan yang dapat diambil melibatkan menenangkan pasien untuk membuatnya rileks, pindah ke luar atau menjauh dari sumber alergen yang mungkin, dan mendinginkan orang tersebut.
Ada juga tindakan seperti melepas pakaian dan mencuci wajah serta mulut untuk menghilangkan alergen, meskipun hal ini tidak didasarkan pada bukti ilmiah.
Tindakan Medis
Manajemen medis melibatkan penggunaan bronkodilator seperti agonis beta-2 dan antagonis muskarinik (misalnya, salbutamol dan ipratropium bromida) serta antiinflamasi seperti steroid hirup (biasanya beklometason, namun steroid melalui berbagai rute juga bermanfaat).
Tindakan Lain/ Jangka Panjang
Menurunkan berat badan, berhenti merokok, mengganti pekerjaan yang melibatkan faktor risiko, dan pemantauan diri semuanya penting dalam mencegah progresi penyakit dan mengurangi jumlah serangan akut.
Pengkajian Keperawatan
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatkannya kelainan.
Perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya.
Tanda asma yang paling sering ditemukan adalah mengi, namun pada sebagian pasien asma tidak didapatkan mengi diluar serangan.
Begitu juga pada asma yang sangat berat berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun.
Secara umum, pada askep pengkajian pasien yang sedang mengalami serangan asma dapat ditemukan hal-hal sebagai berkut, sesuai derajat serangan (Kemenkes, 2008):
Inspeksi
- Pasien terlihat gelisah,
- Sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal), sianosis
Palpasi
Biasanya tidak ditemukan kelainan, namun pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus
Perkusi
Biasanya tidak ditemukan kelainan
Auskultasi
- Ekspirasi memanjang
- Mengi
- Suara lendir
Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan pada pasien asma menurut buku SDKI (PPNI, 2017), adalah:
- Bersihan jalan napas tidak efektif
- Gangguan pertukaran gas
- Pola napas tidak efektif
- Intoleransi aktivitas
- Ansietas
Discharge Planning
Discharge planning untuk pasien asma (Hashmi et al, 2023), adalah:
- Minum obat sesuai petunjuk
- Hindari pemicu seperti bulu hewan peliharaan, asap tembakau, dan debu.
Referensi
- Dandan, J.G., Parhusip, M.B., & Frethernety, A. (2022). Literatur Review: Gambaran Faktor-Faktor Pencetus Asma pada Pasien Asma. Jurnal Kedokteran Universitas Palangka Raya, 10 (2): 1-5. DOI: 10.37304/jkupr.v10i2.3492
- Hashmi, M. F., Tariq, M., Cataletto, M. E., et al. (2023, August 8). Asthma (Nursing). In StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK568760/
- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
- Manese, M., Bidjuni, H., & Romas, S. (2021). Faktor risiko yang berhubungan dengan Riwayat serangan pada penderita asma di Kabupaten Minahasa Selatan. Jurnal Keperawatan, 9 (2): 33 – 39.
- PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI.