inkontinensia urin refleks

Inkontinensia urin refleks merupakan diagnosis keperawatan yang didefinisikan sebagai pengeluaran urin yang tidak terkendali pada saat volume kandung kemih tertentu tercapai.

Diagnosis ini diberi kode D.0045, masuk dalam kategori fisiologis, subkategori eliminasi dalam Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan inkontinensia urin refleks secara komprehensif, namun dengan Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari tanda dan gejala yang harus muncul untuk dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara menulis diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan pada daftar isi berikut:

Tanda dan Gejala

Untuk dapat mengangkat diagnosis inkontinensia urin refleks, Perawat harus memastikan bahwa minimal 80% dari  tanda dan gejala dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

DS:

  • Tidak mengalami sensasi berkemih
  • Dribbling
  • Sering buang air kecil
  • Hesitancy
  • Nokturia
  • Enuresis

DO:

  • Volume residu urin meningkat

Bila data diatas tidak tampak pada pasien, atau yang muncul hanya satu atau dua saja (kurang dari 80%), maka Perawat harus melihat kemungkinan masalah lain pada daftar diagnosis keperawatan, atau diagnosis keperawatan lain yang masuk dalam sub kategori eliminasi pada SDKI.

Penyebab (Etiologi)

Penyebab (etiologi) dalam diagnosis keperawatan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.

Penyebab inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi bagian “berhubungan dengan ….” pada struktur diagnosis keperawatan.

Penyebab (etiologi) untuk masalah inkontinensia urin refleks adalah:

  1. Kerusakan konduksi impuls di atas arkus refleks
  2. Kerusakan jaringan (mis: terapi radiasi).

Penulisan Diagnosis

Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan aktual, yang berarti penulisannya menggunakan metode tiga bagian, yaitu:

[masalah] + [penyebab][tanda/gejala].

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Inkontinensia urin refleks berhubungan dengan kerusakan jaringan akibat terapi radiasi dibuktikan dengan tidak mengalami sensasi berkemih, dribbling, hesitancy, nokturia, enuresis, volume residu urin meningkat.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat menjadi:

Inkontinensia urin refleks b.d kerusakan jaringan akibat terapi radiasi d.d tidak mengalami sensasi berkemih, dribbling, hesitancy, nokturia, enuresis, volume residu urin meningkat.

Perhatikan:

  1. Masalah = inkontinensia urin refleks
  2. Penyebab = kerusakan jaringan akibat terapi radiasi
  3. Tanda/gejala = tidak mengalami sensasi berkemih, dst.
  4. b.d = berhubungan dengan
  5. d.d = dibuktikan dengan

Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)

Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran utama untuk diagnosis inkontinensia urin refleks adalah: “kontinensia urin membaik.”

Kontinensia urin membaik diberi kode L.04036 dalam SLKI.

Kontinensia urin membaik berarti kemampuan pasien untuk mengontrol buang air kecil membaik.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa kontinensia urin membaik adalah:

  1. Kemampuan mengontrol urin meningkat
  2. Nokturia menurun
  3. Residu volume urine setelah berkemih menurun
  4. Dribbling menurun
  5. Hesistancy menurun
  6. Enuresis menurun
  7. Kemampuan menunda pengeluaran urin membaik
  8. Frekuensi berkemih membaik
  9. Sensasi berkemih membaik

Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka kontinensia urin membaik, dengan kriteria hasil:

  1. Sensasi berkemih membaik
  2. Dribbling menurun
  3. Hesitancy menurun
  4. Nokturia menurun
  5. Enuresis menurun
  6. Residu volume urine setelah berkemih menurun

Perhatikan:

  1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka kontinensia urin
  2. Ekspektasi = Membaik
  3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,

Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan sesuai SLKI.”

Intervensi

Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi, maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), intervensi utama untuk diagnosis inkontinensia urin refleks adalah:

  1. Kateterisasi urin
  2. Perawatan inkontinensia urin

Kateterisasi Urin (I.04148)

Intervensi kateterisasi urin dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.04148).

Kateterisasi urin adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk memasukan selang kateter urin ke dalam kandung kemih.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi perawatan kateterisasi urin berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

  • Periksa kondisi pasien (mis: kesadaran, tanda-tanda vital, daerah perineal, distensi kandung kemih, inkontinensia urin, refleks berkemih)

Terapeutik

  • Siapkan peralatan, bahan-bahan, dan ruangan Tindakan
  • Siapkan pasien: bebaskan pakaian bawah dan posisikan dorsal rekumben (untuk Wanita) dan supine (untuk laki-laki)
  • Pasang sarung tangan
  • Bersihkan daerah perineal atau preposium dengan cairan NaCl atau aquades
  • Lakukan insersi kateter urin dengan menerapkan prinsip aseptic
  • Sambungkan kateter urin dengan urin bag
  • Isi balon dengan NaCl 0,9% sesuai anjuran pabrik
  • Fiksasi selang kateter diatas simpisis atau di paha
  • Pastikan urin bag ditempatkan lebih rendah dari kandung kemih
  • Berikan label waktu pemasangan

Edukasi

  • Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan kateter urin
  • Anjurkan menarik napas saat insersi selang kateter

Perawatan Inkontinensia Urin (I.04163)

Intervensi perawatan inkontinensia urindalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.04163).

Perawatan inkontinensia urin adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk mengidentifikasi dan merawat pasien yang mengalami pengeluaran urin secara involunter (tidak disadari).

Tindakan yang dilakukan pada intervensi perawatan inkontinensia urinberdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

  • Identifikasi penyebab inkontinensia urin (mis: disfungsi neurologis, gangguan medulla spinalis, gangguan refleks destrusor, obat-obatan, usia, Riwayat operasi, gangguan fungsi kognitif)
  • Identifikasi perasaan dan persepsi pasien terhadap inkontinensia urin yang dialaminya
  • Monitor keefektifan obat, pembedahan, dan terapi modalitas berkemih

Terapeutik

  • Bersihkan daerah genital dan kulit sekitar secara rutin
  • Berikan pujian atas keberhasilan mencegah inkontinensia
  • Buat jadwal konsumsi obat-obat diuretik
  • Ambil sampel urin untuk pemeriksaan urin lengkap atau kultur

Edukasi

  • Jelaskan definisi, jenis inkontinensia, penyebab inkontinensia urin
  • Jelaskan program penanganan inkontinensia urin
  • Jelaskan jenis pakaian dan lingkungan yang mendukung proses berkemih
  • Anjurkan membatasi konsumsi cairan 2-3 jam menjelang tidur
  • Ajarkan memantau cairan keluar dan masuk serta pola eliminasi urin
  • Anjurkan minum minimal 1500 cc/hari, jika tidak ada kontraindikasi
  • Anjurkan menghindari kopi, minuman bersoda, teh dan cokelat
  • Anjurkan konsumsi buah dan sayur untuk menghindari konstipasi

Kolaborasi

  • Rujuk ke ahli inkontinensia, jika perlu

Diagnosis Terkait

Daftar diagnosis lainnya yang masuk dalam kategori fisiologis dan subkategori eliminasi adalah:

  1. Gangguan eliminasi urin
  2. Inkontinensia fekal
  3. Inkontinensia urin berlanjut
  4. Inkontinensia urin berlebih
  5. Inkontinensia urin fungsional
  6. Inkontinensia urin stres
  7. Inkontinensia urin urgensi
  8. Kesiapan peningkatan eliminasi urin
  9. Konstipasi
  10. Retensi urin
  11. Risiko inkontinensia urin urgensi
  12. Risiko konstipasi

Referensi

  1. PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI.
  2. PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.
  3. PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.

Leave a Reply