Disrefleksia otonom

Disrefleksia otonom merupakan diagnosis keperawatan yang didefinisikan sebagai respon sistem saraf simpatis yang terjadi secara spontan dan mengancam jiwa terhadap stimulus berbahaya akibat cidera medulla spinalis pada T7 atau diatasnya.

Diagnosis ini diberi kode D.0061, masuk dalam kategori fisiologis, subkategori neurosensori dalam Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan disrefleksia otonom secara komprehensif, namun dengan Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari tanda dan gejala yang harus muncul untuk dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara menulis diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan pada daftar isi berikut:

Tanda dan Gejala

Untuk dapat mengangkat diagnosis disrefleksia otonom, Perawat harus memastikan bahwa minimal 80% dari  tanda dan gejala dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

DS:

  • Sakit kepala

DO:

  • Tekanan darah sistolik meningkat > 20%
  • Bercak merah pada kulit di atas lokasi cidera
  • Diaforesis diatas lokasi cidera
  • Pucat di bawah lokasi cidera
  • Bradikardia dan/atau takikardia

Bila data diatas tidak tampak pada pasien, atau yang muncul hanya satu atau dua saja (kurang dari 80%), maka Perawat harus melihat kemungkinan masalah lain pada daftar diagnosis keperawatan, atau diagnosis keperawatan lain yang masuk dalam sub kategori neurosensori pada SDKI.

Penyebab (Etiologi)

Penyebab (etiologi) dalam diagnosis keperawatan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.

Penyebab inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi bagian “berhubungan dengan ….” pada struktur diagnosis keperawatan.

Penyebab (etiologi) untuk masalah disrefleksia otonom adalah:

  1. Cidera pada medulla spinalis
  2. Pembedahan medulla spinalis pada T7 keatas
  3. Proses keganasan pada medulla spinalis

Penulisan Diagnosis

Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan aktual, yang berarti penulisannya menggunakan metode tiga bagian, yaitu:

[masalah] + [penyebab][tanda/gejala].

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Disrefleksia otonom berhubungan dengan cidera pada medulla spinalis dibuktikan dengan tekanan darah sistolik meningkat >20%, bercak merah pada kulit diatas lokasi cidera, pucat dibawah lokasi cidera, bradikardia.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat menjadi:

Disrefleksia otonom b.d cidera pada medulla spinalis d.d tekanan darah sistolik meningkat >20%, bercak merah pada kulit diatas lokasi cidera, pucat dibawah lokasi cidera, bradikardia.

Perhatikan:

  1. Masalah = disrefleksia otonom
  2. Penyebab = cidera pada medulla spinalis
  3. Tanda/gejala = tekanan darah sistolik meningkat, dst.
  4. b.d = berhubungan dengan
  5. d.d = dibuktikan dengan

Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)

Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran utama untuk diagnosis disrefleksia otonom adalah: “status neurologis membaik.”

Status neurologis membaik diberi kode L.06053 dalam SLKI.

Status neurologis membaik berarti kemampuan sistem saraf perifer dan pusat untuk menerima, mengolah, dan merespon stimulus internal dan eksternal membaik.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa status neurologis membaik untuk diagnosis ini adalah:

  1. Sakit kepala menurun
  2. Tekanan darah sistolik membaik
  3. Diaforesis menurun
  4. Pucat menurun
  5. Frekuensi nadi membaik

Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka status neurologis membaik, dengan kriteria hasil:

  1. Sakit kepala menurun
  2. Tekanan darah sistolik membaik
  3. Diaforesis menurun
  4. Pucat menurun
  5. Frekuensi nadi membaik

Perhatikan:

  1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka status neurologis
  2. Ekspektasi = Membaik
  3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,

Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan sesuai SLKI.”

Intervensi

Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi, maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), intervensi utama untuk diagnosis disrefleksia otonom adalah manajemen disrefleksia.

Manajemen Disrefleksia (I.06190)

Intervensi manajemen disrefleksia dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.06190).

Manajemen disrefleksia adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk mengidentifikasi dan mengelola refleks hiperaktif dan respon otonom yang tidak tepat pada lesi servikal atau toraks.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen disrefleksia berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

  • Identifikasi rangsangan yang dapat memicu disrefleksia (mis: distensi kandung kemih, kalkuli ginjal, infeksi, impaksi feses, pemeriksaan rektal, supositoria, kerusakan kulit)
  • Identifikasi penyebab pemicu disrefleksia (mis: distensi kandung kemih, impaksi feses, lesi kulit, stoking suportif, dan pengikat perut)
  • Monitor tanda dan gejala disleksia otonom (mis: hipertensi paroksismal, bradikardia, takikardia, diaphoresis diatas tingkat cidera, pucat dibawah tingkat cidera, sakit kepala, mengigil tanpa demam, ereksi pilomotor, dan nyeri dada)
  • Monitor kepatenan kateter urin, jika terpasang
  • Monitor terjadinya hiperrefleksia
  • Monitor tanda-tanda vital

Terapeutik

  • Minimalkan rangsangan yang dapat memicu disrefleksia
  • Berikan posisi fowler, jika perlu
  • Pasang kateter urin, jika perlu

Edukasi

  • Jelaskan penyebab dan gejala disrefleksia
  • Jelaskan penanganan dan pencegahan disrefleksia
  • Anjurkan pasien dan/atau keluarga jika mengalami tanda dan gejala disrefleksia

Kolaborasi

  • Kolaborasi pemberian agen antihipertensi intravena, sesuai indikasi

Diagnosis Terkait

Daftar diagnosis lainnya yang masuk dalam kategori fisiologis dan subkategori neurosensori adalah:

  1. Gangguan memori
  2. Gangguan menelan
  3. Konfusi akut
  4. Konfusi kronis
  5. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial
  6. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer
  7. Risiko konfusi akut

Referensi

  1. PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI.
  2. PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.
  3. PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *