Salah satu pengkajian yang sering dilakukan oleh perawat adalah pengkajian dispnea.

Dispnea adalah sensasi subjektif dari sesak napas, yang dapat berupa ketidaknyamanan atau rasa bernapas yang tidak normal.

Dispnea dapat terjadi sebagai akibat dari peningkatan kerja pernapasan atau bila terdapat rangsangan pada pusat pernapasan di batang otak atau reseptor di seluruh sistem pernapasan.

Dispnea seringkali merupakan gejala penyakit paru yang paling menonjol, tetapi juga bisa menjadi manifestasi utama dari gangguan non-pulmonal.

Sulit untuk membedakan apakah dispnea terjadi karena gangguan paru atau jantung.

PENGKAJIAN DISPNEA

1. Anamnesa

Pengkajian awal pasien dengan gejala dispnea berfokus pada riwayat kesehatan. Dispnea yang bersifat akut harus segera dievaluasi, biasanya di unit gawat darurat (UGD/IGD). Sedangkan dispnea yang bersifat kronis dapat dievaluasi secara bertahap di unit rawat jalan atau rawat inap.

Data kunci yang harus digali saat mengkaji riwayat, antara lain: riwayat merokok atau paparan pekerjaan/lingkungan; gejala yang berhubungan dengan dispnea; dan pemicu dispnea.

Kata-kata yang digunakan pasien untuk menggambarkan dispnea juga bisa membantu. Deskripsi umum mencakup “napas terasa sesak”, dan “sulit bernapas”.

2. Pengkajian Fisik

Pemeriksaan fisik lanjutan dapat membantu menggali data lebih dalam terkait dispnea yang dialami oleh pasien.

Inspeksi (lihat) apakah pasien bernapas dengan mulut yang mengerucut (pursed-lipped breathing). Pursed-lipped breathing sering muncul pada pasien dengan penyakit paru obstruktif (COPD/PPOK).

Selain itu inspeksi apakah pasien bernapas dengan cepat dan dalam (pernapasan Kussmaul). Pernapasan kussmaul muncul pada pasien yang mengalami asidosis metabolik.

Lihat pula apakah pasien bernapas dengan pola yang tidak teratur (pernapasan cheyne-stokes). Pernapasan cheyne-stokes sering terlihat pada pasien dengan CHF (gagal jantung kongestif).

Munculnya clubbing finger pada pasien yang mengalami dispnea mengindikasikan kemungkinan adanya penyakit paru interstisial, bronkiektasis, atau kanker paru.

Pemeriksaan jantung dapat menunjukkan tanda CHF seperti S3, S4, dan distensi vena jugularis. Temuan crackles, wheezing, atau rhonchi juga membantu membedakan penyebab dispnea.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan pada pasien dengan gejala dyspnea adalah rontgen dada/thoraks. Rontgen dada dapat membantu membedakan apakah dispnea yang terjadi diakibatkan oleh COPD/PPOK, CHF, penyakit paru interstisial, atau efusi pleura.

Karena dispnea juga dapat terjadi akibat anemia, kemungkinan juga akan dilakukan pemeriksaan darah lengkap (CBC/complete blood count) untuk melihat status darah, yang mana pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada seluruh pasien baru.

Bila hasil rontgen dada normal, pemeriksaan selanjutnya adalah tes fungsi paru atau pulmonary function test (PFT).

Pemeriksaan spirometri dapat mendiagnosis adanya obstruksi (FEV1 / FVC <70%). Volume paru-paru dapat mendiagnosis restriksi, dan PFT tambahan dapat membantu membedakan antara penyakit paru-paru interstisial, kelemahan otot saraf, dan menyebabkan gangguan pada dinding dada.

Selengkapnya tentang pemeriksaan PFT, baca artikel: “Pemeriksaan Pulmonary Function Test.”

Bila hasil PFT juga normal, maka langkah selanjutnya adalah cardiopulmonary exercise testing (CPET) dan/atau pemeriksaan echocardiography.

Pemeriksaan tersebut dilakukan karena dispnea juga dapat disebabkan oleh gangguan selain gangguan paru (non-pulmonal),

Penyebab dispnea non-pulmonal yang paling umum adalah akibat gangguan jantung. Gangguan tersebut antara lain gagal jantung kongestif (CHF), iskemia jantung (miokard infark), aritmia, dan penyakit katup jantung.

Untuk menggali lebih dalam dapat dilakukan pemeriksaan EKG untuk menentukan adanya iskemia jantung dan aritmia, serta pemeriksaan echocardiogram untuk menentukan adanya penyakit CHF.

REFERENSI

Essam Al-Ansari, E. (2010). Dyspnea. Decision Making in Medicine (3rd Ed). Pages 488-489. https://doi.org/10.1016/B978-0-323-04107-2.50172-1.

Leave a Reply