dasar hukum visum et repertum

Dasar hukum Visum et Repertum adalah Pasal 133 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Seorang dokter, dalam tugas sehari-harinya, selain melalukan pemeriksaan diagnostik serta memberikan pengobatan dan perawatan kepada pasien juga mempunyai tugas melalukan pemeriksaan medik (baik untuk korban hidup maupun korban mati) untuk membantu proses penegakan hukum, dengan pembuatan Visum et Repertum (Budiyanto, Widiatmaka, & Sudiono, 1997).

Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan (Afandi, 2017).

Dasar Hukum Visum et Repertum

Dasar hukum Visum et Repertum adalah Pasal 133 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pasal 133 Ayat (1) KUHAP berbunyi:

“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”

Pasal 133 Ayat (2) KUHAP berbunyi:

“Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.”

Pasal 6 Ayat (1) KUHAP merumuskan bahwa penyidik adalah:

  • Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
  • Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.

Pada Pasal 6 Ayat (1) diatas, disebutkan bahwa ada 2 kategori penyidik, namun penyidik yang berwenang untuk meminta Visum et Repertum adalah penyidik bagi pidana umum, yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum, karena kewenangannya terbatas pada undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Kewenangan penyidik untuk meminta keterangan ahli diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf h KUHAP.

Pasal 7 Ayat (1) butir h berbunyi:

“Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.”

Selain Penyidik, KUHAP mengatur bahwa Penyidik Pembantu juga dapat meminta Visum et Repertum sebagaimana diatur pada Pasal 11 KUHAP.

Pasal 11 KUHAP berbunyi:

“Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.”

Tidak Semua Polisi Bisa Meminta Pembuatan Visum

Mengenai kepangkatan pembuat surat permintaan Visum et Repertum telah diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 27 tahun 1983 yang menyatakan penyidik POLRI berpangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan pada wilayah kepolisian tertentu yang komandannya adalah seorang bintara (Brigadir), maka ia adalah penyidik karena jabatannya tersebut. Kepangkatan bagi penyidik pembantu adalah bintara serendah-rendahnya Brigadir dua.

Polisi yang dapat meminta pembuatan Visum et Repertum adalah Penyidik Polri yang memiliki pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua.

Syarat kepangkatan penyidik ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 2 Ayat (1) huruf a berbunyi:

“Penyidik adalah: Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi.”

Khusus pada wilayah Kepolisian tertentu yang Komandannya adalah seorang Bintara (Brigadir), maka ia adalah penyidik karena jabatannya tersebut.

Ini diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) PP 27/1983 yang berbunyi:

“Dalam hal di suatu sektor Kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik.”

Sedangkan untuk penyidik pembantu, setidaknya memiliki pangkat serendah-rendahnya Sersan Dua (Brigadir Dua), sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 Ayat (1) huruf a PP 27/1983, yang berbunyi:

“Penyidik pembantu adalah: Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi.”

Untuk mengetahui apakah suatu surat permintaan pemeriksaan telah ditanda tangani oleh yang berwenang, maka yang penting adalah bahwa si penanda tangan menandatangani surat tersebut selaku penyidik (Afandi, 2017).

Dokter Wajib Melakukan Visum et Repertum

Bila diminta oleh penyidik, Dokter wajib untuk melakukan Visum et Repertum dan menuliskan surat keterangan ahli.

Kewajiban dokter untuk melakukan Visum et Repertum tertuang dalam Pasal 179 KUHAP.

Pasal 179 Ayat (1) KUHAP berbunyi:

“Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagi ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.”

Bila Dokter Menolak Melakukan Visum

Bila Dokter menolak untuk melakukan Visum et Repertum yang diminta oleh Penyidik, maka Dokter yang bersangkutan dapat diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak Sembilan ribu rupiah.

Sanksi hukum bagi Dokter yang menolak melakukan Visum et Repertum ini tertuang dalam Pasal 216 KUHP yang berbunyi:

“Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalanghalangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”

Sumber

  1. Afandi, D. (2017). Visum et Repertum: Tata Laksana dan Teknik Pembuatan, Edisi II. FK Universitas Riau: Pekanbaru.
  2. Budiyanto, A., Widiatmaka, W., & Sudiono, S. (1997). Ilmu kedokteran forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
  3. Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
  4. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Leave a Reply