Pemeriksaan imunologi dan serologi

Pemeriksaan imunologi dan serologi adalah pemeriksaan darah yang bertujuan untuk mendeteksi awal adanya infeksi virus, memperkirakan status imun, dan memantau respon.

Pemeriksaan Imunologi dan Serologi:

Tes Human Immunodeficiency Virus (HIV)

HIV adalah retrovirus (virus RNA), yang menyerang sel sistem imun terutama CD4+ limfosit T, yang melemahkan pertahanan host, menyebabkan infeksi oportunistik dan Acquired Immune Defi ciency Syndrome (AIDS) pada hampir semua kasus.

Beberapa tes digunakan untuk menentukan pasien yang kemungkinan terinfeksi HIV, yaitu: antibodi HIV, tes Western Blot, tes antigen HIV, HIV RNA, CD4+, beban virus.

Sebagian besar pasien dengan AIDS anergik, dengan anemia sedang (Hb 7-12 g/dL), trombositopenia sedang, leukopenia sedang (1000-3000 /mm3) dan limfosit< 1200 / mm3.

Tes Antibodi HIV (penapisan HIV)

Tes Antibodi HIV (penapisan HIV), dengan metoda: Enzyme Linked Immunosorbent Assay (Elisa) atau Enzyme Immunoassay (EIA).

Tes penapisan antibodi terhadap virus penyebab AIDS, HIV1. Sebagian besar tes penapisan juga meliputi HIV2.

Antibodi (Ab) muncul setelah seseorang terinfeksi selama 4-8 minggu.

Jika seseorang mempunyai antibodi dalam darahnya maka akan bereaksi dan mengikat antigen (Ag) HIV pada permukaan.

Ikatan Ag-Ab menimbulkan reaksi warna yang dapat dievaluasi sebagai negatif, positif, atau tidak dapat ditetapkan.

Hasil tes positif dan tidak dapat ditetapkan harus diulang dan kemudian dikonfirmasi dengan tes Western Blot.

Hasil ELISA positif palsu dapat terjadi apabila pasien menerima immunoglobulin hepatitis B dalam 6 minggu, wanita multigravida, dan adanya faktor-faktor reumatoid.

Hasil ELISA negatif palsu terjadi pada stadium lanjut HIV atau awal infeksi (sebelum terbentuk antibodi).

Implikasi klinis :

Tes positif menunjukan orang tersebut terinfeksi atau berpotensi terinfeksi dan memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi menderita penyakit simptomatik dalam beberapa tahun.

Apabila tes dilakukan segera setelah terinfeksi dapat terjadi hasil negatif palsu karena belum terbentuk antibodi.

Jika dilakukan pengujian ulang setelah 6-12 minggu akan menunjukkan hasil positif.

ELISA juga dapat menunjukkan hasil positif palsu, sehingga orang yang tidak terinfeksi dapat dinyatakan terinfeksi.

Oleh karena itu hasil tes positif dengan ELISA atau EIA harus dikonfirmasi dengan Western Blot.

Tes Western Blot

Rangkaian protein virus HIV dipisahkan berdasarkan berat molekul dengan menggunakan elektroforesis dan terikat pada strip tes.

Strip diinkubasi dalam serum pasien.

Bila serum pasien mengandung antibodi terhadap antigen HIV, maka antibodi akan terikat dengan antigen HIV yang terdapat dalam strip dan menimbulkan reaksi yang positif.

Implikasi klinik:

Western blot positif memastikan bahwa seseorang terinfeksi HIV.

Tes Antigen HIV

Seseorang yang terinfeksi mungkin tidak memiliki antibodi di dalam darahnya (misalnya di awal infeksi) tetapi orang tersebut pasti memiliki antigen HIV (protein) di darah.

Tes antigen HIV ini tidak biasa digunakan dalam penapisan pasien HIV, tetapi digunakan untuk menapis darah yang akan didonorkan.

HIV RNA dengan PCR

HIV RNA dengan PCR (Polimerase Chain Reaction).

Tes ini mengukur beban virus (jumlah partikel virus) di dalam darah.

Pada awalnya, RNA virus dikonversi ke DNA. Kemudian pengukuran dilakukan dengan cara memperbanyak sekuens urutan DNA.

Pada alat yang canggih, dapat juga digunakan untuk mengukur RNA HIV.

Implikasi klinik:

Bila sampel pasien diuji dengan PCR dan tidak mengandung virus maka tidak akan terbentuk kopi DNA dan tes dinyatakan negatif.

Bila seseorang dinyatakan terinfeksi, kopi DNA akan terbentuk dan dapat dideteksi.

Adanya DNA virus HIV menunjukkan seseorang terinfeksi, dan beban virus menunjukkan perkembangan penyakit.

Kegunaan utama PCR pada HIV adalah untuk memonitor terapi pada awal penggunaan ART dalam 2-4 minggu.

Jika hasilnya ≥1 log beban virus atau HIV RNA >10.000 kopi maka terapi dapat dilanjutkan.

Jika hasilnya <0,5 log beban virus atau HIV RNA > 100.000 kopi, maka perlu dilakukan penyesuaian dosis atau penambahan/penggantian ARV.

Kegunaan PCR pada monitoring HIV selanjutnya dilakukan setiap 4-6 bulan.

Jika beban virus 0,3-0,5 log maka terapi ARV tidak efektif dan harus diganti dengan tipe ARV yang lain.

Hitungan CD4+ Limfosit T

Jumlah sel CD4+ merupakan hasil dari jumlah limfosit total dan persentase sel CD4.

Sebelum dikembangkan penetapan beban virus, sel CD4 dihitung untuk memonitor perjalanan penyakit dan terapi.

Nilai normal hitungan CD4+ Limfosit T (pada usia diatas 18 tahun), adalah:

Sel Limfosit TPersen (%)Jumlah absolut/mm3
CD358 – 82690 – 1900
CD3+ CD4+38 – 64500 – 1300
CD3+ CD8+15 – 33210 – 590
CD3- CD19+4 – 1665 – 300
CD3- /CD16+ CD56+2 – 2335 – 240
Nilai normal hitungan CD4+ Limfosit T pada usia diatas 18 tahun (Kemenkes, 2011).

Implikasi klinik:

  • Limfosit CD4 menurun pada AIDS dan jumlah sel CD4 bermanfaat sebagai indikator kompetensi imunologi pasien. Bila limfosit T CD4 menurun, risiko infeksi oportunitis meningkat. Pasien dengan jumlah CD4 kurang dari 200 berisiko tinggi terkena infeksi
  • Bila pasien yang memiliki jumlah CD4 kurang dari 100, berisiko tinggi terhadap infeksi Cytomegalovitus dan Mycobacterium avium intracellular complex.
  • Tes CD4 dapat digunakan untuk memantau efektivitas terapi dan pengaturan rejimen ARV. Tes tersebut dilakukan 2-4 minggu setelah terapi ARV dimulai. Terapi dikatakan efektif apabila terjadi peningkatan CD4 30 sel/mm3. Apabila nilai CD4 <30 sel/mm3 maka harus dilakukan penggantian terapi ARV. Pemantauan efektivitas terapi pada pasien yang stabil dilakukan setiap 3-6 bulan. Jika nilai CD4 turun 50% dibandingkan nilai CD4 pada awal terapi maka perlu dilakukan perubahan terapi ARV.

Panel Hepatitis

Terdapat minimal empat jenis virus hepatitis.

Bentuknya secara klinis sama, tetapi berbeda dalam imunologi, epidemiologi, prognosis dan profi laksis.

Jenis virus hepatitis:

  1. Hepatitis A; infeksius hepatitis
  2. Hepatitis B; hepatitis serum /transfuse
  3. Hepatitis D; selalu berhubungan dengan hepatitis B
  4. Hepatitis C; dahulu non A atau non B.

Orang yang berisiko hepatitis adalah pasien dialisis, pasien onkologi/hematologi, pasien hemofili, penyalahguna obat suntik, homoseksual.

Nilai normal panel hepatitis adalah negatif.

Hepatitis A

  • HAV-ab/IgM; dideteksi 4 – 6 minggu setelah terinfeksi dan menunjukkan tahap hepatitis A akut.
  • HAV-ab/IgG; dideteksi setelah 8 -12 minggu setelah terinfeksi dan menunjukkan pasien sebelumnya pernah terpapar hepatitis A.

Hepatitis B

  • HBs-Ag merupakan antigen permukaan hepatitis B yang ditemukan pada 4-12 minggu setelah infeksi. Hasil positif menunjukkan hepatitis B akut (infeksi akut dan kronik)
  • Hbe-Ag ditemukan setelah 4-12 minggu setelah terinfeksi. Hasil yang positif menunjukkan tahapan aktif akut (sangat infeksius)
  • Hbc-Ag (antibodi inti hepatitis B) ditemukan setelah 6 – 14 minggu terinfeksi. Hasil yang positif menujukkan infeksi yang sudah lampau. Merupakan penanda jangka panjang.
  • HbeAb antibodi ditemukan 8-16 minggu sesudah terinfeksi, menunjukkan perbaikan infeksi akut.
  • Hasil positif antibodi HBs-Ab terhadap antigen permukaan hepatitis B, terjadi setelah 2-10 bulan infeksi. Menunjukkan pasien sebelumnya telah terinfeksi /terpapar hepatitis B tetapi tidak ditemukan pada tipe hepatitis yang lain. Merupakan indikator perbaikan klinik, juga dapat ditemui pada individu yang telah berhasil diimunisasi dengan vaksin hepatitis B.
  • Pengukuran DNA virus dengan PCR dapat digunakan untuk memonitor terapi HBV dengan obat anti virus.

Venereal Disease Research Laboratory (VDRL)

VDRL adalah uji pengendapan yang digunakan untuk mendiagnosa dan memantau tahapan penyakit Sifilis.

Nilai normal VDRL adalah Negatif.

Implikasi klinik

  • Hasil tes positif ditemukan bila infeksi terjadi setelah 4-6 minggu (1-3 minggu setelah terbentuk chancres). Hasil positif harus dikonfi rmasi dengan tes fluorescent treponemal antibody absorbed (FTA-ABS).
  • Hasil false positif dapat ditemukan pada ibu hamil, pecandu obat, infeksi mononucleus, lepra, malaria dan penyakit kolagen seperti rheumatoid artritis dan syndrome Lupus Erythematosus (SLE).

Tes Kulit Tuberkulin (PPD Test)

Tuberkulin adalah fraksi protein (Purified Protein Derivative) dari hasil pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium Boris yang larut.

Antigen diberikan secara intradermal (0,1 ml), menghasilkan bleb pada tempat injeksi intradermal (biasanya aspek volar atau dorsal pada lengan).

Antigen tersedia dalam 3 konsentrasi unit: 1 TU, 5 TU, 250 TU (Tuberculin Unit). Tes dievaluasi dalam waktu 48-72 jam.

Antigen tuberkulin diberikan untuk menentukan apakah pasien mengalami tuberkulosis aktif atau dorman.

Akan tetapi tes ini tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif atau dorman.

Hasil PPD Test normal adalah bila tidak adanya warna merah pada kulit atau endurasi (penebalan/pengerasan), hal ini menunjukkan tes kulit negatif.

Abnormal bila indurasi pada kulit, kemerahan, udema dan nekrosis sentral. Semakin besar diameter bengkak maka semakin positif hasil:

  • hasil negatif jika diameter < 5 mm,
  • tidak pasti atau mungkin 5-9 mm,
  • positif ≥ 10 mm.

Tes kulit positif menujukkan pernah terpapar basil tuberculosa (TB) atau pernah divaksin BCG (Baccile Calmette Guerin).

Uji kultur Tuberkulosis

Uji kultur tuberkulosis adalah pemeriksaan untuk menentukan kepastian seseorang menderita tuberkulosis atau tidak.

Pemeriksaan ini dapat menggunakan metode terbaru seperti molecular line probe, maupun biakan sputum bakteri tahan asam (pewarnaan Ziehl Neelsen).

Referensi:

Kemenkes (2011). Pedoman Interpretasi Data Klinik. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Leave a Reply