Sejarah Hukum Kesehatan di Indonesia

perawat.org – Sejarah Hukum Kesehatan di Indonesia

Pada awal tahun 1980, belum banyak orang yang mengenal tentang Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan.

Satu-satunya bidang ilmu yang mengaitkan disiplin ilmu hukum dan ilmu kedokteran hanyalah Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Medicine).

Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Medicine) lebih dahulu menjadi kurikulum mata kuliah di beberapa fakultas seperti Fakultas Hukum Jurusan Pidana, Fakultas Kedokteran dan AKABRI Jurusan Kepolisian.

Hal tersebut menyangkut alat-alat bukti di sidang pengadilan, terutama bukti Surat yakni Visum et Repertum dan Keterangan Saksi/Ahli yaitu Ahli Forensik.

Pentingnya Hukum Kesehatan secara umum tidak terlalu diperhatikan, sampai terjadinya peristiwa yang dikenal sebagai “Kasus Dr. Setianingrum” di Pati, Jawa Tengah.

Kasus Dr. Setianingrum

Dokter Setyaningrum adalah seorang dokter umum di Puskesmas Kecamatan Wedarijaksa, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Pada awal tahun 1979, saat sedang merawat pasiennya yang menderita pharyngitis (radang tenggorokan), dr. Setyaningrum menyuntikkan obat Streptomycin.

Beberapa menit setelah disuntik, pasiennya mengalami mual dan muntah.

Sadar pasiennya alergi terhadap Penisilin, dokter Setyaningrum memberikan lagi injeksi Cortisone, namun kondisi pasien semakin memburuk.

Dokter Kembali memberikan injeksi Delladryl (obat anti alergi), tetapi tidak membantu. Pasien semakin lemas, dan tekanan darah semakin rendah.

Karena pertolongan pertama syok anafilaktik tidak berhasil, Dr. Setyaningrum segera merujuk pasiennya ke RSU AA Soewondo, Pati.

15 Menit di RSU Pati, pasien menghembuskan nafas terakhirnya.

Berdasarkan Visum et Repertum dr. Gosmoro Soeparno pada 25 Januari 1979, pasien datang ke RSU AA Soewondo pada tanggal 4 Januari 1979 jam 18.15 malam.

Pasien datang dalam keadaan tidak sadar, pernapasan terhenti, tekanan darah tidak teratur, denyut nadi kecil tidak teratur, isi dan tegangan kurang.

Penderita mengalami shock irreversible akibat reaksi tubuh yang tidak tahan terhadap obat yang diterimanya.

Tidak terima istri meninggal karena suntikan obat, suami pasien yang merupakan Kapten TNI saat itu kemudian melaporkan Dr. Setyaningrum ke Polisi.

Dr. Setyaningrum dituntut dengan Pasal 359 KUHP, dan perkaranya diperiksa oleh Pengadilan Negeri Pati.

Pasal 359 KUHP:

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

PN Pati memutuskan bahwa Dokter Setyaningrum bersalah melakukan kejahatan tersebut pada pasal 359 KUHP.

Dokter Setyaningrum dijatuhi hukuman penjara 3 bulan dengan masa percobaan 10 bulan pada Putusan PN. Pati No.8/1980/Pid.B/Pn.Pt pada 2 September 1981.

Kuasa hukum Dokter Setyaningrum kemudian melakukan Banding di Pengadilan Tinggi Semarang.

Pengadilan Tinggi Semarang dalam putusannya No. 203/1981/Pid.b/PT.Smg, justru memperkuat putusan PN Pati.

Tak lepas asa, Dokter Setyaningrum mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung dalam putusannya No 6000k/Pid/1983 membebaskan Dokter Setianingrum dari tuduhan sebagaimana pasal 359 KUHP.

Reaksi Profesi Medis dan Hukum

Kasus dokter Setianingrum menimbulkan banyak reaksi baik dari kalangan profesi medis maupun kalangan dunia hukum, teristimewa pula dari kalangan masyarakat.

Sejak peristiwa tersebut, bertemulah antara dunia Hukum (Themis) dengan dunia medis (Aesculapius) dalam suatu wadah baru di Indonesia.

Wadah baru tersebut menjadi suatu cabang baru dari disiplin ilmu hukum yakni Hukum Medis (Medical Law).

Hukum Medis (Medical Law) kemudian berubah menjadi Hukum Kedokteran, dan akhirnya diperluas cakupan pembahasannya menjadi Hukum Kesehatan (Heath Law atau Gezondheitsrecht).

Kasus Dr. Setianingrum dianggap sebagai awal mula sejarah hukum kesehatan di Indonesia.

Lihat juga: Pengertian Hukum Kesehatan & Asas-asas Hukum Kesehatan

Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI)

Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan mulai diperkenalkan di Indonesia dengan terbentuknya Kelompok Studi untuk Hukum Kedokteran Universitas Indonesia pada tanggal 1 November 1982 di RSCM.

Kelompok studi tersebut dibuat oleh beberapa dokter dan Sarjana Hukum yang mengikuti Kongres Hukum Kedokteran Sedunia di Gent, Belgia Tahun 1982.

Kelompok studi ini lalu membentuk Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia (PERHUKI) pada 7 Juli 1983.

Dalam perjalanan dan perkembangannya, terlihat adanya ketimpangan bila hanya Hukum Kedokteran saja yang dikembangkan, sementara cabang lain dalam Hukum Kesehatan tidak ikut dikembangkan, seperti Hukum Farmasi, Hukum Keperawatan, Hukum Rumah Sakit, dll.

Pada Kongres Nasional I PERHUKI tahun 1987, atas saran Menteri Kehakiman dan Direktorat Jenderal Kesehatan, serta berdasarkan aspirasi sebagian besar anggota PERHUKI, maka disepakati perubahan ruang lingkup perhimpunan ini menjadi Perhimpunan untuk Hukum Kesehatan Indonesia dengan singkatan yang sama yaitu PERHUKI.

PERHUKI menjadi bagian dari sejarah hukum kesehatan di Indonesia.

Sejak saat itu, Hukum Kesehatan semakin diperhatikan dan berkembang hingga menjadi seperti bidang yang kita kenal hingga saat ini.

Daftar Pustaka

  1. Putusan Mahkamah Agung No 6000k/Pid/1983
  2. Putusan Pengadilan Negeri Pati No.8/1980/Pid.B/Pn.Pt
  3. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 203/1981/Pid.b/PT.Smg
  4. Setiawan, M.A. (2016). Penyelesaian Litigasi dalam Sengketa Medik Dugaan Malpraktek. Disampaikan dalam acara Seminar Mediasi dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter di Fakultas Kedokteran UII Yogyakarta pada 17 September 2016. Dapat diunduh di: https://biohuki.fk.uii.ac.id/wp-content/uploads/arif-setiawan-Penyelesaian-Litigasi-Sengketa-medik_FKUII_Des_2016.pdf
  5. Takdir. (2018). Pengantar Hukum Kesehatan. Lembaga Penerbit Kampus IAIN Palopo: Palopo. Dapat diunduh di: http://repository.iainpalopo.ac.id/id/eprint/303/1/LAYOUT%20-%20PENGANTAR%20HUKUM%20KESEHATAN.pdf
  6. Visum et Repertum dr. Gosmoro Soeparno pada 25 Januari 1979.

Leave a Reply