asas-asas hukum kesehatan

perawat.org | Asas-asas hukum Kesehatan

Setiap peraturan hukum, termasuk hukum kesehatan berakar atau bertumpu pada asas hukum.

Asas-asas hukum berfungsi sebagai tindakan pengamanan terhadap keputusan sewenang-wenang oleh pemerintah (Atmadja, 2018).

Asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum (Mertokusumo, 1986).

Menurut Dewi (2008), beberapa asas-asas hukum Kesehatan antara lain:

  1. Sa science et sa conscience
  2. Agroti salus lex suprema
  3. Deminimis noncurat lex
  4. Res ipsa liquitur

Berikut penjelasan mengenai asas-asas hukum Kesehatan:

1. Sa science et sa conscience

Asas “sa science et sa conscience” berartinya “ya ilmunya dan ya hati nuraninya”.

Maksud dari pernyataan “ya ilmunya dan ya hati nuraninya” adalah bahwa kepandaian seorang tenaga kesehatan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani dan kemanusiaannya.

Contoh penerapan asas sa science et sa conscience:

Contohnya, seorang dokter, perawat atau bidan tahu bagaimana caranya melalukan aborsi, dan tahu apa obat untuk aborsi karena secara ilmu mereka telah belajar.

Namun mereka sebagai tenaga Kesehatan tidak boleh melakukan hal tersebut karena bertentangan dengan hati Nurani, bahwa aborsi tanpa indikasi medis sama dengan membunuh.

Nurani juga erat kaitannya dengan etika, dan biasanya diatur dalam sebuah kode etik.

Penerapan asas sa science et sa conscience ini tergambar dalam Pasal 29 Ayat (1) huruf k UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang berbunyi:

“Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan.”

Asas ini juga digunakan pada pengaturan hak-hak dokter, dimana dokter berhak menolak melakukan suatu tindakan medis tertentu kepada pasien jika bertentangan dengan hati nuraninya.

2. Agroti Salus Lex Suprema

Asas “agroti salus lex suprema” berarti “keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.”

Asas ini merupakan bentuk perlindungan secara normatif bagi tindakan medis yang dilakukan dokter.

Contoh penerapan asas agroti salus lex suprema:

Secara hukum, sebuah tindakan medis yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya (Pasal 37 UU Rumah Sakit).

Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran giri yang akan dilakukan oleh

Namun pada situasi khusus dimana pertolongan medis darurat harus dilakukan, dokter dapat melakukan pertolongan tanpa persetujuan pasien atau keluarganya, demi keselamatan pasien itu sendiri.

Asas agroti salus lex suprema ini tergambar pada Pasal 45 Ayat (1) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi:

“Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.”

Kemudian dalam penjelasan Pasal 45 Ayat (1) diatas disebutkan bahwa:

“… dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera berikan penjelasan dan dibuat persetujuan.”

3. Deminimis noncurat lex

Asas “Deminimis noncurat lex” berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele.

Asas ini berkaitan dengan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga Kesehatan dan dokter.

Selama kelalaian tersebut tidak berdampak merugikan pasien maka hukum tidak akan menuntut.

Dalam tiga UU di bidang Kesehatan, tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan bahwa tenaga Kesehatan, termasuk dokter dapat dipidana karena lalai.

Ketiga UU tersebut adalah:

  1. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  2. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Memang di dalam hukum pidana, kesalahan (schuld) terdiri dari unsur kesengajaan (dolus) atau kealpaan/kelalaian (culpa).

Dolus dan culpa diatur dalam Pasal 359 dan 360 KUHP.

Pasal 359 KUHP berbunyi:

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Pasal 360 Ayat (1) KUHP berbunyi:

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Pasal 360 Ayat (2) KUHP berbunyi:

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebahkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.”

Namun dalam hukum juga dikenal asas “Lex specialis derogate legi generalis” yaitu “hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).”

Ketiga UU Kesehatan yang telah disebutkan sebelumnya adalah hukum yang bersifat khusus, sedangkan KUHP adalah hukum yang bersifat umum.

Sehingga dengan kata lain, kelalaian tenaga Kesehatan tidak dapat dipidana, kecuali ada unsur kesengajaan.

Misalnya sengaja melakukan aborsi.

4. Res ipsa liquitur

Asas “Res Ipsa liquitur” berarti faktanya telah berbicara.

Asas ini digunakan dalam kasus-kasus malpraktek dimana kelalaian yang terjadi tidak perlu pembuktian lebih lanjut karena faktanya terlihat jelas.

Sumber:

  1. Atmadja, D.G. (2018). Asas-asas hukum dalam sistem hukum. Kertha Wicaksana. 12 (2). DOI: http://dx.doi.org/10.22225/kw.12.2.721.145-155
  2. Dewi, A.I. (2008). Etika dan Hukum Kesehatan. Pustaka Book Publisher: Yogyakarta.
  3. Mertokusumo, S. (1986). Mengenal Hukum. Liberty: Yogyakarta.
  4. UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
  5. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  6. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
  7. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Leave a Reply