Cara menulis latar belakang penelitian keperawatan

perawat.org | cara menulis latar belakang penelitian keperawatan.

Tujuan utama dari latar belakang pada sebuah proposal atau laporan penelitian adalah untuk menguraikan konteks masalah penelitian yang akan atau telah dilakukan.

Meski sederhana, namun menulis latar belakang sering menjadi masalah terbesar peneliti dalam menulis proposal atau laporan penelitian.

Ini disebabkan karena sulitnya mengemas masalah penelitian dalam latar belakang, sehingga penguasaan permasalahan penelitian merupakan modal utama dalam penyusunan pendahuluan.

Latar belakang yang menarik perhatian sangat penting, terutama pada saat mengajukan proposal penelitian.

Sebagai contoh, jika anda adalah seorang mahasiswa yang ingin mengajukan judul penelitian untuk skripsi. Dosen pasti melihat latar belakang terlebih dahulu.

Jika masalah penelitian dalam latar belakang dikemas dalam konteks tinjauan pustaka yang umum dan bertele-bertele, maka proposal tersebut akan terlihat tidak menarik.

Namun, jika latar belakang disusun dalam konteks fokus terhadap masalah dan kekinian, maka sebuah proposal akan dipandang penting dan menarik.

Sehingga meningkatkan probabilitas judul skripsi tersebut akan disetujui oleh pembimbing.

LIHAT JUGA: Ide Judul Skripsi Keperawatan

Saya sendiri (penulis) sudah dua kali mendapatkan Hibah Penelitian Dosen dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang dikenal ketat dalam menyaring proposal yang masuk.

Dari proposal-proposal yang saya ajukan, latar belakang yang saya tulis tidak panjang lebar atau mengandung banyak teori-teori atau definisi, namun fokus pada masalah yang akan di teliti.

Di akhir artikel ini, saya memberikan contoh menulis latar belakang pada proposal penelitian saya yang disetujui pendanaannya oleh Kemendikbud.

Namun sebelum anda loncat ke bagian akhir, mari kita bahas terlebih dahulu konsep-konsep dasar mengenai latar belakang penelitian.

Daftar Isi Artikel

Pengertian Latar Belakang Penelitian

Latar belakang adalah sekumpulan ide atau gagasan yang menyebabkan penelitian dilakukan, dan sebaiknya disusun oleh peneliti itu sendiri, dan bukan ide yang disusun orang lain.

Menurut Ade Heryana, dosen Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Esa Unggul, peneliti yang telah menyusun latar belakang dengan baik, diibaratkan telah menjalankan 50% proses penelitian.

Ide dan gagasan tersebut digali dari lokasi penelitian yang telah ditentukan atau dari populasi yang telah ditetapkan peneliti.

Misalnya penelitian Anda akan dijalankan di sebuah sekolah menengah pertama swasta, maka masalah penelitian digali di lokasi tersebut.

Bisakah masalah penelitian diambil dari masalah global dahulu baru ke lokasi penelitian?

Bisa saja selama memang di lokasi tersebut ada masalah yang terkait.

Misalnya berdasarkan data Riskesdas 2018 ada kenaikan prevalensi penderita DM, maka Anda mencari lokasi penelitian yang memang terdapat peningkatan kasus DM.

LIHAT JUGA: 10 Prioritas Penelitian Keperawatan di Indonesia

Unsur-Unsur Latar Belakang Penelitian

Bila kita baca dengan seksama, hampir seluruh cara menulis latar belakang penelitian mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

Masalah penelitian

  • Pernyataan tentang urgensi masalah penelitian
  • Data dan fakta kondisi masalah penelitian secara global, nasional, lokal
  • Data dan fakta kondisi masalah penelitian di lokasi yang diusulkan
  • Hasil penelitian sebelumnya yang menggambarkan urgensi penelitian

Penyebab masalah

  • Kerangka teori yang menjelaskan faktor penyebab masalah
  • Dugaan peneliti tentang penyebab masalah di lokasi penelitian, dan gambarannya di lokasi penelitian
  • Hasil penelitian sebelumnya yang mendukung atau memperkuat dugaan peneliti

Dampak dari masalah

  • Dampak masalah penelitian yang kemungkinan akan terjadi berdasarkan teori
  • Hasil penelitian yang menjelaskan dampak dari masalah penelitian
  • Data dan fakta yang menggambarkan dampak masalah di lokasi penelitian

Upaya-upaya yang sudah dijalankan di lokasi penelitian

  • Upaya-upaya yang sebaiknya dijalankan untuk mengatasi masalah
  • Fakta-fakta tentang upaya yang sudah dijalankan di lokasi penelitian
  • Hasil-hasil penelitian yang menggambarkan penerapan upaya penyelesaian masalah

Tentu saja tidak semua latar belakang penelitian mengikuti seluruh unsur-unsur diatas.

Setiap peneliti memiliki gaya menulis sendiri-sendiri, namun tetap saja mayoritas latar belakang berisi unsur-unsur tersebut.

Untuk memudahkan anda menulis latar belakang, Ade Heryana telah memberikan cara menyusun latar belakang penelitian.

Mari kita lihat…

Isi dari Latar Belakang Penelitian

Urutan cara menulis latar belakang penelitian mengikuti kerangka Penyebab – Masalah – Dampak.

Urutannya dimulai dari Masalah, lalu Penyebab, akhirnya Dampak.

Susunan urutan ini tidak ada standarnya, dapat disesuaikan dengan gaya penulisan.

Tabel berikut dapat dijadikan pedoman:

NoParagrafKomponenDeskripsiSumber
11 – 3Urgensi masalahPenjelasan tentang urgensi/pentingnya masalah penelitian tersebut yang akan diselesaikan atau dipecahkan dalam proposal penelitianTeori, kebijakan
24 – 7Data-data terkait masalahData dan fakta masalah umum ke khusus, mulai dari global hingga lokalData sekunder dari laporan, misalnya WHO, Riskesdas, dsb.
37 – 10Masalah di lokasi penelitianUraian tentang lokasi penelitian, dan masalah riil yang terjadi di lokasi berdasarkan hasil studi/survei awal, hasil observasi, atau wawancara dengan PJ dan sebagainyaData dan fakta dari studi pendahuluan atau studi awal
411 – 14Penyebab masalahUraian dugaan penyebab masalah berdasarkan penelitian sebelumnya, buku teks, dan observasi di lokasi penelitianTeori, hasil penelitian, observasi dilapangan
515 – 17Dampak dari masalahUraian tentang dampak “nyata” dari masalah yang telah ditetapkan berdasarkan data-data dan hasil observasiTeori, hasil penelitian, observasi dilapangan
618JudulUraian tentang judul penelitian 
Isi dari latar belakang penelitian

Ingat, tabel diatas hanyalah panduan saja. Jumlah paragraf dapat disesuaikan dengan kebutuhan anda masing-masing.

Berikut saya sertakan contoh Latar Belakang penelitian asli milik saya…

Contoh Latar Belakang Penelitian 1

Berikut adalah latar belakang proposal saya yang lolos pendanaan hibah penelitian dosen oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (2020).

Latar belakang ini tidak panjang karena panduan Kemenristekdikti saat itu mencantumkan latar belakang tidak lebih dari 500 kata.

Judul

Efektivitas pedometer konvensional dan pedometer berbasis aplikasi smartphone dalam mengukur langkah kaki pada orang dewasa sehat.

Latar Belakang

Organisasi kesehatan dunia (WHO) mengatakan diseluruh dunia, 1 dari 4 orang dewasa tidak cukup aktif, padahal aktivitas fisik yang tidak memadai merupakan faktor resiko utama penyakit tidak menular, serta penyebab utama kematian di seluruh dunia. Negara-negara anggota WHO kemudian bersepakat untuk menurunkan angka aktivitas fisik yang tidak memadai sebesar 10% pada tahun 2025 (WHO, 2019).

Salah satu aktivitas fisik yang direkomendasikan dan paling mudah untuk diikuti untuk orang dewasa yang sehat adalah dengan menerapkan 10.000 langkah per hari untuk tetap sehat dan bugar. Data normatif menunjukkan bahwa orang dewasa yang sehat biasanya menempuh antara 4.000 dan 18.000 langkah per hari, dan 10.000 langkah per hari adalah rekomendasi yang berdasar untuk populasi tersebut (Kooiman et al, 2015; Tudor-locke, Craig & Brown, 2011).

Gencarnya promosi untuk meningkatkan aktivitas fisik membuat banyak bermunculan alat untuk melacak atau mengukur aktivitas fisik individu dipasar konsumen selama lima hingga sepuluh tahun terakhir. Pelacak aktivitas (activity trackers) adalah perangkat kecil ramah pengguna yang berfungsi untuk mengukur jumlah langkah yang diambil dan/atau jumlah waktu yang dihabiskan untuk melakukan aktivitas fisik pada intensitas tertentu (Kooiman et al, 2015). Ada banyak jenis pelacak aktivitas, namun alat khusus yang berfungsi untuk mengukur langkah disebut pedometer (Evanson, Goto, & Furberg, 2015).

Menggunakan alat pelacak aktivitas dapat meningkatkan kesadaran seseorang tentang perilaku aktivitas fisiknya sendiri (Kooiman et al, 2015), namun alat tersebut memiliki hambatan dalam penggunaannya, seperti kompleksitas perangkat yang memungkinkan penggunanya kebingungan, serta adanya biaya tambahan untuk membeli perangkat tersebut (Hurt et al, 2018).

Solusi atas hambatan tersebut adalah pelacak aktivitas berbasis aplikasi telepon cerdas (smartphone). Smartphone tumbuh dengan kecepatan yang lebih besar daripada pelacak aktivitas, dan lebih menarik untuk disebarluaskan ke masyarakat umum (Hurt et al, 2018).

Baik pedometer konvensional maupun pedometer berbasis aplikasi smartphone, dikatakan merupakan alat pengukuran langkah yang valid dan reliabel (Hurt et al, 2018), namun masih sangat sedikit evaluasi penggunaannya (6), sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas kedua alat pelacak tersebut.

Contoh Latar Belakang Penelitian 2

Berikut adalah latar belakang proposal saya yang lolos pendanaan hibah penelitian dosen oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2021).

Latar belakang ini tidak panjang karena panduan Kemendikbudristek saat itu mencantumkan latar belakang tidak lebih dari 500 kata.

Judul

Pengembangan Media Papan Cahaya (Lightboard) Untuk Membuat Video Praktikum Keperawatan

Latar Belakang

Sejak masuknya virus SARS-CoV-2 di Indonesia pada 02 Maret 2020, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk memutus mata rantai penyebaran virus tersebut. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan untuk menutup sekolah dan menyelenggarakan belajar dari rumah (1), dan hingga Agustus 2020 perguruan tinggi yang berada di zona merah, termasuk DKI Jakarta masih belum mendapatkan izin untuk menyelenggarakan proses belajar mengajar secara langsung (2).

Kebijakan-kebijakan tersebut berdampak pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi keperawatan, dimana 60% sampai 70% proses belajar mengajar dilakukan dalam bentuk praktikum, baik laboratorium maupun klinik, sehingga perguruan tinggi harus mencari alternatif yang efektif agar proses pembelajaran tetap berkualitas meski tanpa tatap muka.

Siaran Pers Kemendikbud Nomor 137/sipres/A6/VI/2020 tanggal 15 Juni 2020 (3) menyebutkan bahwa metode pembelajaran pada semua zona wajib dilaksanakan secara daring untuk mata kuliah teori, sedangkan untuk mata kuliah praktik sedapat mungkin tetap dilakukan secara daring, kecuali tidak mungkin untuk dilakukan maka diarahkan untuk dilakukan di bagian akhir semester.

Bagi perguruan tinggi vokasi keperawatan, pilihan untuk dilakukan di akhir semester cukup memberatkan mengingat banyaknya mata kuliah yang memiliki beban SKS praktikum, sehingga pilihannya adalah dilakukan secara daring.

McCorkle & Whitener (2020) menyebutkan ada teknologi terbaru untuk membuat video pengajaran praktikum yang efektif, teknologi tersebut dikenal dengan “papan cahaya” atau “lightboard”. Papan cahaya adalah perangkat keras berteknologi rendah untuk merekam video instruksional yang dicetuskan oleh Michael Peshkin, dan didaftarkan dengan nama Lightboard Open Source Hardware Initiative (4).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/425/2020 (5) tentang Standar Profesi Perawat, tidak semua keterampilan keperawatan dapat dilakukan secara daring. Ada keterampilan-keterampilan yang harus dilaksanakan langsung kepada pasien, misalnya keterampilan pengambilan sampel darah vena yang ditulis dengan tingkat kemampuan 4 (empat). Pada keterampilan dengan tingkat kemampuan 4, lulusan perawat harus dapat melakukannya secara mandiri, langsung pada klien, dan dinilai langsung melalui ujian tindakan di klinik.

Salah satu keterampilan yang tidak perlu dilakukan langsung kepada klien adalah keterampilan “pemantauan hasil analisa gas darah.” Pemantauan hasil analisa gas darah masuk dalam tingkat kemampuan 3 (tiga), dimana lulusan perawat harus dapat melakukan dibawah supervisi, dapat diberikan dengan klien probandus (kasus), dan dapat dinilai dengan metode OSCE. Dengan kata lain keterampilan tersebut dapat diajarkan secara daring.

Contoh Latar Belakang Penelitian 3

Berikut adalah latar belakang proposal tesis saya untuk memperoleh gelar S2 Keperawatan (Medikal Bedah), pada 2017 lalu.

Tidak seperti 2 contoh sebelumnya, latar belakang yang saya buat ini lebih panjang karena ditujukan dalam rangka kuliah.

Judul

Pengembangan Awal Diabetes Self-Management Instrument (DSMI) Versi Indonesia.

Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan kelompok gangguan metabolik yang dikarakteristikkan dengan kondisi hiperglikemi kronik akibat gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Holt, Cockram, Flyvbjerd, & Goldstein, 2016; Ozougwu, Obimba, Belonwu, & Unakalamba, 2013; World Health Organization, 2016). Diabetes melitus dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti serangan jantung, hipertensi, stroke, gagal ginjal, amputasi kaki, kehilangan penglihatan dan kerusakan saraf, sedangkan pada ibu hamil, diabetes melitus yang tidak terkontrol dapat meningkatkan resiko kematian janin dan komplikasi lainnya (National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, 2011; World Health Organization, 2016)

Prevalensi diabetes melitus di dunia cenderung mengalami kenaikan setiap tahun. Pada tahun 1980 penderita diabetes melitus tercatat sebanyak 108 juta (4,7%) penderita, sedangkan pada tahun 2014, jumlah penderita meningkat drastis menjadi 422 juta (8,5%). Jumlah penderita diabetes melitus terbesar ada di wilayah Asia Tenggara (8,6%) dan wilayah Pasifik Barat (8,4%). Pada tahun 2012 diabetes melitus mengakibatkan 1,5 juta kematian di seluruh dunia (World Health Organization, 2016).

Proporsi dan perkiraan jumlah penderita diabetes melitus pada penduduk usia ≥ 15 tahun di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebanyak ± 12,2 juta penderita dan hanya 30,4%  penderita yang terdiagnosis dokter, sedangkan 69% sisanya tidak terdiagnosis dokter (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Proporsi diabetes melitus yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di Provinsi DI Yogyakarta (2,6%), disusul oleh DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%) (Kementerian Kesehatan RI, 2013a).

Penderita diabetes melitus di Provinsi DKI Jakarta menyebar di enam kota/kabupaten, dengan proporsi paling tinggi berada di Kota Jakarta Selatan (3,1%), diikuti oleh Jakarta Timur (3,0%), Kabupaten Kepulauan Seribu (2,5%), Kota Jakarta Pusat (2,2%), Kota Jakarta Utara (1,9%) dan terakhir Kota Jakarta Barat (1,7%). Proporsi penderita berdasarkan kelompok umur paling tinggi adalah 11,7% pada kelompok umur 55-64 tahun, diikuti oleh kelompok umur >75 tahun (9,9%), 65-74 tahun (8,3%), 45-54 tahun (5,2%) dan 35-44 tahun (1,4%). Penderita berjenis kelamin laki-laki 2,6% dan perempuan 2,3%. Tingkat pendidikan tidak tamat SD 5,0%, tamat SD 3,4%, tidak sekolah 2,9%, tamat SMP 2,5%, tamat SMA 2,1% dan tamat perguruan tinggi 1,9%. Status pekerjaan tidak bekerja 3,1%, wiraswasta 2,7%, petani/nelayan/buruh 1,9%, pegawai 1,6% dan lainnya 1,6% (Kementerian Kesehatan RI, 2013b)

Tren peningkatan jumlah penderita diabetes melitus membuat banyak institusi dan organisasi kesehatan berupaya untuk meningkatkan kewaspadaan menemukan intervensi yang efektif dalam melayani pasien dengan diabetes melitus (Richardson, Derouin, Vorderstrasse, Hipkens, & Thompson, 2014). Diabetes melitus merupakan satu dari empat prioritas penyakit noncommunicable yang telah disepakati sebagai target untuk segera ditangani (World Health Organization, 2016).

Perubahan gaya hidup pasien sangat diperlukan untuk mengurangi angka mortalitas dan morbiditas. Menurunkan berat badan dan meningkatkan aktivitas fisik dapat menurunkan pengembangan diabetes tipe 2 sebanyak 58% dalam 3 tahun (National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, 2011). Pasien diabetes melitus menghabiskan sekitar 95% perawatan tanpa bantuan petugas kesehatan, atau dilakukan secara mandiri (Lin, Anderson, Chang, Hagerty, & Loveland-Cherry, 2008), oleh karena itu kemampuan pasien dalam mengatur penyakitnya sangat penting untuk mencegah atau menunda serangan komplikasi yang mungkin muncul (Onwudiwe et al., 2011; Redmon et al., 2014). Manajemen diri yang efektif pada pasien diabetes melitus memiliki peran penting dalam kontrol diabetes melitus (Tol et al., 2011).

Banyak penulis yang tidak dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan self-management (Lin et al., 2008). Self-management (manajemen diri) adalah kemampuan individu untuk mengatur gejala, perawatan, fisik, psikologis dan perubahan gaya hidup ketika berhadapan pada kondisi kronis (Johnston, Liddy, Ives, & Soto, 2008). Pada tahun 2009, Ryan & Sawyer mengembangkan sebuah teori keperawatan middle range yang dinamakan Individual and Family Self-Management Theory (IFSMT). IFSMT mengkonseptualisasikan self-management sebagai sebuah proses dimana individu dan keluarga menggunakan pengetahuan dan keyakinan, keterampilan self-regulation dan fasilitas sosial untuk mencapai hasil yang diharapkan. Self-management berlangsung dalam konteks faktor resiko dan faktor pencegah yang spesifik ada kondisi kesehatan, lingkungan sosial dan fisik, dan individu dan keluarga. Self-management dapat diaplikasikan pada kondisi kronis maupun promosi kesehatan (Ryan & Sawin, 2009).

Dukungan manajemen diri (self-management) menjadi jalan yang menjanjikan untuk mencapai kebutuhan pasien yang memiliki penyakit kronis (Bos-Touwen et al., 2015). Selama beberapa tahun terakhir, manajemen beberapa kondisi kronis (diabetes melitus dan COPD) telah beralih dari dokter ke perawat dan peran perawat menjadi penting dalam mendukung self-management pasien, tetapi perawat memiliki kesulitan untuk menjelaskan bagaimana mereka mengkaji pasien dan bagaimana memberikan perawatan pada setiap individu yang berbeda kebutuhan karena dalam pengambilan keputusan, perawat lebih banyak mengandalkan intuisi dan pengalaman saja (Bos-Touwen et al., 2015).

Bagi pasien dengan diabetes melitus, hal pertama agar dapat hidup dengan sejahtera adalah dengan diagnosa dini, semakin lama pasien hidup tanpa terdiagnosa dan tidak dirawat, maka hasil perawatan juga akan semakin buruk. Pada pasien yang telah terdiagnosa, intervensi hemat biaya dapat meningkatkan hasil perawatannya, intervensi tersebut antara lain: kontrol gula darah, diet, aktivitas fisik, dan jika diperlukan pengobatan (World Health Organization, 2016). Untuk meningkatkan intervensi yang hemat biaya tersebut, maka diperlukan program yang dapat membantu pasien diabetes melitus dalam memanajemen penyakitnya. Salah satu program manajemen diabetes melitus tersebut adalah Diabetes Self-Management Education (DSME). DSME merupakan elemen penting dalam perawatan pasien dengan diabetes melitus karena dapat meningkatkan keberhasilan perawatan pasien (Funnell et al., 2012). DSME dapat memberikan pasien dan keluarga keterampilan dan kepercayaan diri yang mereka butuhkan untuk memanajemen diabetes melitusnya (Sutandi, 2012).

Meskipun self-management merupakan salah satu pilihan yang baik pasien diabetes melitus, tetapi kesuksesan dari dukungan self-management berbeda-beda pada setiap pasien. Dukungan self-management yang spesifik kepada kebutuhan pasien menentukan keberhasilan dari self-management pasien. (Wanyonyi, Humphris, & Freeman, 2011). Pada self-management setiap individu, perawatan kesehatan harus dapat mengidentifikasi karakteristik psikososial dan kebutuhan dari setiap pasien (Wanyonyi et al., 2011). Selain itu, beberapa hambatan bagi keberhasilan self-management pasien, antara lain: tenaga kesehatan tidak memaksimalkan peluang untuk bekerja bersama pasien dan keluarga untuk membantu pasien memanajemen kondisinya, keterbatasan dukungan pada saat diagnosis, keterbatasan identifikasi kebutuhan yang tepat bagi intervensi pasien dan keterbatasan penggunaan instrumen berbasis bukti untuk memfasilitasi dan mendukung perubahan perilaku (Handley, Pullon, & Gifford, 2010). Berdasarkan hasil penelitian, pasien diabetes melitus yang tidak memanajemen penyakitnya dengan baik dapat mengakibatkan sindrom metabolik (Sugiani, 2011).

Manajemen diri merupakan cornerstone dalam perawatan diabetes melitus, dan sangat penting untuk memiliki instrumen yang akurat untuk mengevaluasi praktik manajemen diri tersebut (Lin et al., 2008). Penelitian untuk membuat instrumen pengukuran masih belum banyak dilakukan di Indonesia, padahal di beberapa negara, telah banyak penelitian yang dilakukan untuk membuat dan mengevaluasi instrumen pengukuran yang valid dan reliabel, seperti penelitian untuk membuat instrumen pengukuran self-care pada pasien gagal jantung (Yu, Lee, Thomson, Woo, & Leung, 2010), pengukuran kualitas keperawatan home care (Rantz et al., 2006), dan instrumen self-management untuk pasien diabetes melitus tipe 2 (Lin et al., 2008).

Dalam melakukan atau mengumpulkan data dengan metode survey, peneliti cenderung membuat instrumen sendiri tanpa melakukan uji kelayakan atau dengan menggunakan instrumen yang telah ada, tetapi hanya diterjemahkan secara kasar dan tidak menggunakan metode yang sistematis untuk melihat validitas dan realibilitas dari instrumen tersebut. Padahal, terjemahan saja tidak cukup, untuk mendapatkan suatu instrumen yang valid dan reliabel, peneliti harus mengikuti tahap-tahap yang sistematis, dan sesuai panduan yang ada.

DSMI pertama kali dikembangkan oleh Profesor Chu Chiu Lin dari Universitas Kaohsiung, Taiwan. DSMI dibuat karena: (1) kurangnya literatur tentang self-management, (2) lebih banyak penelitian terkait self-management hanya melihat kontrol glikemik dan menghiraukan aspek lain dari manajemen penyakitnya, dan (3) banyak penelitian yang tidak menggunakan instrumen yang teruji secara psikometrik untuk mengukur komponen dari self-management. Diabetes self-management instrument (DSMI) (Lin et al., 2008), telah dicoba untuk dikembangkan di Iran (Tol et al., 2011), dengan hasil reabilitas dan validitas DSMI versi Iran, sudah siap untuk digunakan sebagai intervensi untuk mengukur self-management pada pasien diabetes melitus tipe 2. DSMI sangat membantu untuk menentukan nilai total self-management dan menyediakan intervensi yang lebih tepat dan relevan kepada pasien (Tol et al., 2011).

Diabetes self-management instrument (DSMI) terdiri dari 35 pertanyaan yang mencerminkan 5 domain yaitu: integrasi diri (self-integration), regulasi diri (self-regulation), interaksi dengan petugas kesehatan, periksa gula darah sendiri (self-monitoring), dan kepatuhan terhadap perawatan (Lin et al., 2008; Tol et al., 2011). DSMI dapat digunakan untuk mengkaji bagaimana pasien dengan diabetes melitus tipe 2 merawat dirinya sendiri, mengembangkan materi edukasi pasien, dan untuk mengimplementasikan intervensi yang tepat guna bagi tiap-tiap individu (Lin et al., 2008).

Indonesia sendiri belum memiliki instrumen untuk mengukur tingkat manajemen diri pasien diabetes melitus, studi pendahuluan dengan menyusuri laman Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Indonesia, dimana tidak ada instrumen yang telah dipatenkan terkait diabetes melitus, sedangkan untuk beberapa instrumen yang telah memiliki hak cipta antara lain (1) instrumen deteksi dini kasus tuberkulosis pada ibu menyusui dan balita, (2) psikometri dalam penyusunan instrumen pengukuran perilaku dan (3) instrumen riset gaya belajar (Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, 2017). Selain menyusuri laman Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, peneliti juga menyusuri laman Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan atau Badan Litbangkes yang bertanggung jawab dalam bidang penelitian di Kementerian Kesehatan, menurut laman e-riset Litbangkes, tidak ada penelitian yang sudah atau yang sedang dilakukan terkait instrumen manajemen diri pasien diabetes mellitus (Kementerian Kesehatan RI, 2017). Selain menyusur laman Direktorat atau Badan resmi di Indonesia, peneliti juga telah melakukan wawancara kepada Ketua Perhimpunan Edukator Diabetes Indonesia (PEDI), dan meminta izin secara pribadi untuk melaksanakan penelitian untuk mengembangkan instrumen pengukuran self-management diabetes. Hasil wawancara menunjukkan bahwa, pada dasarnya kegiatan penelitian adalah sesuatu yang independen dan bebas untuk dilakukan oleh akademisi atau peneliti, sejauh tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku di Republik Indonesia.

Dari hasil studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian yang dilakukan tidak bertentangan dengan kebijakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atau Organisasi lain yang berhubungan dengan Diabetes Melitus di Indonesia.

Menimbang terbatasnya instrumen berbasis bukti untuk memfasilitasi dan mendukung perubahan perilaku pasien diabetes melitus, pentingnya memiliki instrumen yang akurat untuk mengevaluasi praktik manajemen diri pasien diabetes melitus tipe 2, dan meningkatnya prevalensi diabetes melitus, serta menimbang komplikasi-komplikasi yang dapat muncul karena kurangnya perawatan diri pasien diabetes  melitus, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan Awal Diabetes Self-Management Instrument (DSMI) Versi Indonesia”.

Kesimpulan

Menulis latar belakang sering menjadi masalah terbesar peneliti dalam menulis proposal atau laporan penelitian.

Ini disebabkan karena sulitnya mengemas masalah penelitian dalam latar belakang. Namun, latar belakang yang menarik perhatian sangat penting.

Dikatakan bahwa peneliti yang telah menyusun latar belakang dengan baik, diibaratkan telah menjalankan 50% proses penelitian.

Ada 4 unsur yang perlu diperhatikan dalam menyusun latar belakang yaitu masalah penelitian, penyebab masalah, dampak dari masalah, dan upaya-upaya yang sudah dijalankan di lokasi penelitian.

Sedangkan, urutan penyusunan latar belakang yang dapat digunakan adalah Penyebab – Masalah – Dampak.

Tidak ada aturan baku yang mengatakan bagaimana cara menulis latar belakang penelitian. Peneliti harus menyesuaikannya dengan kebutuhan masing-masing.

Namun informasi dalam artikel cara menulis latar belakang ini dapat dijadikan acuan bagi anda yang ingin memulai sebuah penelitian.

Referensi

  1. Adiputra, I. M. S. (2021). Metodologi Penelitian Kesehatan. Yayasan Kita Menulis.
  2. Heryana, Ade (n.d). Menyusun latar belakang penelitian. Jakarta: Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Esa Unggul.
  3. File pribadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *